AKU BERSEMBUNYI DI
DALAM TERANG
(Sebuah bahan perenungan untuk
menemukan dan mengenal hakekat Aku)
Tidak dimaksud untuk keperluan masyarakat umum
Penulis: Noname
Disalin ulang oleh: David Goh
Kata Pengantar
1. Untuk Siapa Buku ini ditulis
2. Sebuah bahan perenungan
3. Pengetahuan Luhur
4. Bagaiman membaca buku ini
5. Cara menyampaikan bahan perenungan
6. Harapan dan Rasa Syukur Penulis
Bab: I. KEBIMBANGAN DAN USAHA SIA-SIA
1.
Mencintai dan meraih dunia benda
2.
Belajar dan mempelajari
-
Mempelajari
ilmu pengetahuan
-
Mempelajari
Filsafat
-
Mempelajari
ilmu Ketuhanan
-
Mempelajari
Ilmu Kebathinan
-
Mempelajari
Ilmu Tenaga Gaib
3.
Membenci dan menolak dunia benda
Bab: II. PENELITIAN DAN PERENUNGAN
MELALUI PEMUNCAKAN AKAL
1.
Ketidak-tahuan (Kebodohan)
2.
Kenyataan dan bukan Kenyataan
3.
Hakekat :AKU” dan Kenyataan Esa
4.
Benar dan Keliru
5.
Hubungan saling bergantung dan tata susunan pikiran
6.
Penderitaan dan Kebahagiaan
7.
Hidup dan Mati
8.
Jalan Kebangkitan dan usaha Penyelamatan sendiri
9.
Siswa, guru, dan ajaran
Bab: III. MENYELAMI SENDIRI
PENGETAHUAN LUHUR
1.
Kodrat peyelamatan diri
2.
Disiplin dan pencapaian peyelamatan diri
3.
Buah hasil penyelamatan diri
KATA PENGANTAR
1. Untuk siapa buku
ini ditulis
Tiada seorangpun akan memerlukan buku
ini, jikalau tidak karena mereka yang merasa hidup tercekam oleh penderitaan
didalam kehidupan duniawi ini. Dan lagi, tiada seorangpun akan memerlukan buku
ini, jikalau tidak karena mereka yang hampir-hampir berputus-asa oleh sebab
kegagalan usahanya yang bersungguh-sungguh didalam menemukan Kebenaran dan
Kenyataan yang sungguh memberikan pembebasan kepada mereka dari beban
penderitaan mereka.
Untuk mereka itulah buku ini saya
tulis, yaitu untuk mereka yang bertanya dan mencari dengan kesungguhan hati
untuk dapat ”menemukan” jalan pembebadan dari penderitaan.
Buku ini akan membantu mereka didalam
memberikan jawaban atas apa yang sesungguhnya mereka tanyakan, dan memberikan
petunjuk dan penerangan atas apa yang sesungguhnya mereka cari dan mereka perlukan.
Buku ini bukan saya tulis untuk keperluan masyarakat umum yang tidak bertanya
akan mencari Kebenaran dan Kenyataan; dan buku ini juga bukan saya tulis untuk
mereka yang merasa dirinya telah mengetahui dan mengenali akan kebenaran dan
kenyataan. Bagi mereka dari kedua golongan yang saya sebut terakhir ini,
kiranya terbitnya buku ini tidak perlu menimbulkan kehebohan dan perdebatan
yang tidak membawakan manfaat.
Dan, barangkali adalah terlebih baik
bagi mereka, jikalau buku ini dikesampingkan saja, atau bahkan, dibuang saja,
jikalau dipandang perlu, daripada hanya akan menghabiskan waktu, tenaga dan
pikiran dengan sia-sia untuk berdebat dan bersilat lidah.
2. Sebuah bahan
perenungan
Inilah sebuah buku bahan perenungan!
Buku ini saya tulis hanyalah sebagai
bahan perenungan semata-mata, dan bukan merupakan buku pelajaran (text book)
yang akan memberikan pelajaran tentang sesuatu ilmu, falsafat, credo, ataupun
kepercayaan agama, Tidak! Buku ini hanyalah merupakan perwujudan dari
pengutaraan pikiran semata-mata, yang tidak membawakan maksud, tujuan,
cita-cita, ataupun keinginan untuk mengikat dan memaksakan seseorang untuk mau
menerima dan mempercayainya.
Buku ini hanyalah merupakan suatu
daya upaya untuk melukiskan dan menggambarkan tentang hakekat Kebenaran dan
kenyataan kepada para penanya dan pencari, yang tentunya buku ini bukanlah
kebenaran dan kenyataan itu sendiri.
Kebenaran dan kenyataan itu sendiri
tidak dapat ditemukan di dalam buku ini! Sebagai sebuah buku bahan perenungan,
maka buku ini adalah bagaikan jari tangan yang menunjuk, kearah mana para
penanya dan pencari itu harus melihat dan menemukan sendiri kebenaran dan
kenyataan itu. Dan jangan sampai keliru dengan menganggap, bahwa jari tangan
yang menunjuk itu adalah Kebenaran dan Kenyataan yang ditunjukkan itu sendiri.
3. Pengetahuan-luhur
Buku ini akan menerangkan kepada para
penanya dan pencari, mengenai Pengetahuan Luhur, yaitu Kebijaksanaan Luhur atau
Keinsyafan Luhur; suatu Keinsyafan ilahiah yang tidak dapat dicapai melalui
pikiran-berpikir (thinking mind) dan kecerdasan akal pikiran (intellectual
mind).
Pengetahuan Luhur didalam wujudnya
sebagai suatu keinsyafan ilahiah tidak dapat ditemukan didalam dunia luar
(external world), melainkan hanya dapat diselami sendiri atau direalisasi
sendiri (self realized) didalam lubuk kesadaran yang paling dalam dan
terahasiah.
Pengetahuan Luhur adalah ”Keadaan”
Esa yang menjadi ”awal” dan ”akhir” segala hal, dan sebagai ”tempat” yang
membawakan kodrat (kuasa) untuk menghapuskan semua bentuk kebodohan, kesalahan,
dan penderitaan manusia. Pengetahuan Luhur, itu hanya da[at dicapai oleh
seseorang anak manusia sekarang dan disini, didalam keadaan hidup bertubuh ini,
jikalau saja ia tahu dan menurut akan ”hukum” Pengetahuan Luhur, yaitu ”Hukum”
ke-esaan.
Oleh karena itu, maka mengerti dengan
cara yang benar akan ”hukum” itu akan merupakan langkah pertama yang sangat
penting untuk mempersiapakan diri didalam menyelami kodrat Pengetahuan Luhur.
4. Bagaimana Membaca
Buku Ini.
Sudah dijelaskan, bahwa Pengetahuan
Luhur itu adalah Keinsyafan Ilahiah yang tidak dapat ditemukan didalam dunia
luar, melainkan hanya dapat diselami sendiri oleh seseorang anak manusia
didalam lubuk kesadarannya yang paling dalam dan terrahasia.
Ini berarti, bahwa didunia luar tidak
terdapat “contoh” yang dapat menyamai Pengetahuan Luhur.
Buku bahan perenungan mengenai
Pengetahuan Luhur ini disampaikan kepada para penanya dan pencari melalui
pernyataan kata-kata yang sudah diberikan arti-arti tertentu, dimana kata-kata
itu sendiri didalam kodratnya adalah merupakan bagian daripada dunia luar sama
seperti halnya bendabenda dan obyek-obyek lahiriah lainnya.
Karena demikian, maka dengan
kata-kata yang berkodrat dunia luar itu seseorang tidak akan dapat mencapai
Pengetahuan Luhur yang bukan berkodrat dunia luar.
Oleh karena itu, maka didalam membaca
buku bahan perenungan ini hendaknya para penanya dan pencari tidak melibatkan
diri dalam menganalisa Pengetahuan Luhur melalui pengertian harfiah daripada
katakata yang digunakan.
Sambil membaca apa yang tersurat
didalam buku bahan perenungan ini, hendaknya para penanya dan pencari berusaha
untuk berpikir sendiri dan merenungkan sendiri akan maksud dan artinya yang
terkandung didalamnya, sehingga maknanya yang sejati dapat ditembusi dan
terlihat dengan terang. Membaca dengan teliti dan berulang-ulang, sambil
menggunakan dan memuncakkan akal sehat yang bebas, akan sangat membantu para
penanya dan pencari untuk dapat menyelami makna yang sejati, yang tersembunyi
di balik kata-kata yang dipergunakan didalam buku ini.
Ada satu hal yang sangat penting,
yang perlu diketahui oleh para penanya dan pencari, jikalau ia ingin berhasil
menyelami maknanya yang sejati daripada apa yang disuratkan didalam buku bahan
perenungan ini! Yaitu, hendaknya para penanya dan pencari tidak berbekal dengan
konsepsikonsepsi, pendapat-pendapat, faham-faham, dan kepercayaan-kepercayaan yang
bukan berasal dari pemikiran sendiri (yang mungkin telah menjadi kebiasaan yang
berurat dan berakar turun temurun dari sejak zaman nenek moyang), untuk
dipertentangkan dengan bahan perenungan ini.
Untuk sementara lepaskanlah itu semua
dari ingatan, dan mulailah untuk berpikir sendiri yang sehat dan bebas tanpa
prasangka, dan hanya akan berusaha untuk mengerti akan apa yang dimaksudkan
oleh penulis bahan perenungan ini dengan tidak disertai “pro” atau “kontra”
lebih dahulu. Sebab, pro dan kontra (setuju atau tidak setuju), tanpa mengerti
dengan sungguhsungguh lebih dahulu, itu adalah menyesatkan.
5. Cara menyampaikan
bahan perenungan
Cara (methode) yang dipergunakan
didalam menyampaikan bahan perenungan ini kepada para penanya dan pencari
adalah cara Tanya jawab (dialogue) dengan mempergunakan kata-kata sehari-hari
yang mudah dimengerti dan yang mudah dikenal.
Methode Tanya jawab ini mengarahkan
kepada manfaat ganda bagi para penanya dan pencari Kebenaran fan Kenyataan,
yaitu:
Ke-1.
Kepada para penanya dan pencari
diberikan kebebasan untuk menyatakan pikiran dan pengalamannya sendiri secara
terus terang dan terbuka, dan diberikan kesempatan untuk menanyakan apa saja
yang ditanyakan oleh para penanya dan pencari, tidak diberikan jawabanya secara
langsung, melainkan kepadanya justru diajukan pertanyaan-pertanyaan kembali,
sedemikian rupa, sehingga dari jawabannya sendiri itu, maka para penanya dan
pencari akan memperoleh jawaban yang pasti dan meyakinkan atas apa yang
ditanyakannya. Dengan cara demikian, maka apa yang di tanyakannya, akan di
jawabnya sendiri secara tidak langsung.
Cara ini adalah suatu cara untuk
melatih para penanya dan pencari untuk berpikir sendiri dengan akal yang sehat
dan bebas, dan tidak biasa menyerah dan percaya begitu saja atas segala bentuk
ajaran dan pendirian yang disampaikan oleh orang lain.
Ke-2.
Dengan pertanyaan-pertanyaan kembali
yang diajukan kepada para penanya dan pencari itu, maka mereka akan dapat
mencapai pengertian-pengertian yang diusahakan dan digalinya sendiri, dan
perlahan-lahan akan “ditarik” keatas sampai dapat mencapai
pengertian-pengertian yang lebih luhur, dan yang akhirnya akan dapat
menemukannya sendiri apa yang sebetulnya mereka cari dan mereka perlukan.
Cara ini adalah cara untuk memupuk
kepercayaan pada diri sendiri, disamping memupuk kebiasaan untuk menghindar
dari kepercayaan yang membuta tulikan dan bersifat takhayul.
6. Harapan dan rasa
syukur penulis
Buah hasil yang akan dicapai oleh
para penanya dan pencari dari buku bahan perenungan ini adalah pengertian
benar, yaitu pengertian yang diperoleh karena berpikir sendiri secara bebas
melalui akal sehat yang dipuncakkan. Dengan pengertian benar itu, saya berharap
para penanya dan pencari Kebenaran dan Kenyataan akan mempunyai keyakinan yang
mantap dan tekad yang kuat untuk merealisasi sendiri denga suka rela kodrat
Pengetahuan Luhur yang bersemayam didalam lubuk kesadarannya yang paling dalam
dan teramat rahasia.
Sebagai akhir kata pengantar ini,
saya menyatakan rasa syukur dan terimakasih saya yang sedalam-dalamnya kepada
semua kawan-kawan baik saya yang rasanya tak mungkin dapat saya sebutkan
namanya satu demi satu, yaitu kawan-kawan baik yang telah bersedia mengorbankan
apa saja yang ada pada mereka untuk dapat mewujudkan terbitnya buku bahan
perenungan ini,, sehingga pada akhirnya bisa sampai di tangan para penanya dan
pencari kebenaran dan kenyataan yang bersungguh-sungguh hati.
Berbahagialah mereka yang mempunyai
cukup kekuatan kemauan untuk merealisasikan sendiri kodrat kenyataan
pengetahuan luhur, karena disitulah “tempat” kebahagiaan melimpah-limpah tanpa
kekurangan apapun, dimana segala kesalahan, kekuarangan, cacat cela, dan
penderitaan manusia terhapus.
S E M O G A ! ! !
BAB I
KEBIMBANGAN DAN
USAHA SIA-SIA
Demikian inilah yang kudenger
sendiri!
Suatu percakapan asyik dan
bersungguh-sungguh, didalam nada dan gaya persaudaraan yang sangat akrab,
bebas, dan bersahabat telah terjadi diantara dua orang.
Tampaknya, mereka sedang
mempercakapkan tentang Pengetahuan Luhur, yaitu Kebenaran dan Kenyataan yang
tidak dapat dijangkau oleh kecerdasan pikir berpikir dan para pujangga.
Seorang diantaranya, menilik akan
corak dan caranya ia berbicara, tampaknya ia sangat jauh lebih muda didalam
pengetahuan dan pengalamannya dibidang kerohanian, dibandingkan dengan seorang
yang lain.
Terdenger ia memanggil kepada yang
lebih tua daripadanya itu dengan sebutan ”Bapa” sedangkan yang lebih tua itu
memanggil ”Ananda” kepada yang muda. Rupanya, banyak hal yang telah mereka
percakapkan sebelumnya, namun yang sangat jelas terdengar dari apa yang mereka
percakapkan itu adalah demikian:
I. MENCINTAI DAN
MERAIH DUNIA BENDA
1. Bapa:
Ananda, dengan sesungguhnya aku
berkata kepadamu, bahwa engkau dan aku ini sebetulnya adalah satu waris, dan
satu keturunan, yaitu waris dan keturunan darah suci dan darah luhur yang sama.
Oleh karena itu, Ananda, diantara engkau dan aku ini, tidak terdapat jurang
perpisahan dan perbedaan. Pergaulan kita ini, Ananda, seharusnya berlandaskan
kebebasan dan kesamaan; saling hormat menghormati, saling harga menghargai, dan
saling bantu membantu didalam mengenapkan dan menyempurnakan tugas kewajiban kita
masing-masing, yaitu tugas kewajiban yang telah diserahkan kepada kita masing-masing
oleh pewaris kita yang sama itu. Maka karena itu, Ananda, cobalah engkau
sekarang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk berbicara spontan, wajar, dan
terus terang kepadaku, supaya aku dapat lebih mudah membantumu!
Bukalah hatimu, Ananda, jangan ada
lagi yang harus kau rahasiakan, walau hanya setitik!
Ketahuilah, Ananda, bahwa keagungan
dan kebenaran para suci dan para sempurna dari segala zaman, baik dahulu,
sekarang, maupun yang akan dating, adalah justru terletak didalam wujud
kesederhanaan, kewajaran, keterbukaan, dan keterus terangan mereka.
Marilah, Ananda, teruskan cerita
lelakon hidupmu itu dengan spontan, wajar, terus terang kepadaku!
2. Ananda:
Aduh, Bapa……!
Bapa, aku merasa bersalah! Hatiku
terharu, dan kagum mendenger perkataan nasehat Bapa yang begitu lemah lembut
mengena itu. Rasanya Bapa telah dapat membaca dan mengetahui seluruh isi
hatiku, bahwasanya aku ini adalah pembohong dan penipu diri sendiri dan suka menyimpan
rahasia kebodohan dan kedunguan, sambil berlagak pinter dan bijak untuk
menyombongkan kehormatan dan harga diri sendiri. Bapa, maafkanlah daku!
3, Bapa:
Hah, sudahlah, Ananda, lupakan itu
semua! Tenangkan hatimu, duduklah yang baik, dan teruskanlah cerita tentang
lelakon hidupmu!
4. Ananda:
Bapa, dengan terus terang aku katakan
kepada Bapa, bahwa saat ini hatiku bimbang, ragu, dan takut menghadapi dunia
keadaan dan dunia benda ini.
Kebimbangan, keraguan, dan
ketakutanku itulah Bapa yang menyebabkan aku sekarang jadi menderita!
5. Bapa:
Mengapa engkau harus takut kepada
dunia benda ini, Ananda? Engkau telah
takut kepada sesuatu yang tidak seharusnya engkau takuti! Apanya yang kau
takuti, Ananda?
6. Ananda:
Didalam kehidupan dunia ini aku
menghendaki kepuasan dan kebahagiaan, Bapa, Artinya, aku menghendaki cukup
sandang, cukup pangan, cukup tempat tinggal, cukup sehat, cukup terpandang
didalam pergaulan, dan cukup akan alat-alat kesenangan dan hiburan.
Tetapi, apa yang aku kehendaki itu,
Bapa, selalu tidak dapat memberikan kepuasan dengan tetap kepadaku.
Sebagai contoh misalnya, kali ini aku
menginginkan sebuah baju, dan atas usahaku, baju itu telah dapat ku peroleh.
Untuk sementara waktu, memang baju
itu dapat memberikan kepuasan kepadaku. Namun sesudah itu, baju itu tidak dapat
lagi memberikan kepuasan kepadaku, karena ia ternyata telah berubah menjadi
lusuh, tua, sehingga membosankan daku. Lalu inginlah aku akan baju yang lain.
Maka demikian itu pulalah sifatnya
baju yang lain itu! Ia segera berubah, dan menyebabkan aku menjadi bosan lagi.
Seperti itu pulalah halnya dengan
kebutuhan-kebutuhanku yang lain. Pangan, tempat tinggal, kesehatan, pergaulan,
dan alat-alat hiburan, kesemunya itu selalu serba berubah, sehingga tidak lagi
mampu memberikan kepuasan dan kesenangan kepadaku dengan tetap.
Pendek kata, Bapa, dunia benda ini
ternyata tidak bersedia memberikan kepuasan dan kesenangan kepadaku dengan
tetap, karena sifatnya yang selalu bergerak dan berubah.
Celakalah aku ini, Bapa!
Disatu pihak, aku membutuhkan dan
menginginkan benda-benda didunia ini untuk dapat memenuhi kesenangan dan
kepuasanku untuk hidup, dan rasanya ingin aku mempertahankannya supaya ia tetap
memberikan kesenangan dan kepuasan itu tidak dapat aku pertahankan dengan
tetap, karena benda-benda itu segera berubah dengan serta merta.
Aku takut kehilangan kesenangan dan
kepuasan akan benda-benda di dunia ini, namun benda-benda itu telah memaksa aku
dengan cara diam-diam untuk melenyapkan kesenangan dan kepuasanku.
Aku bimbang, ragu, dan takut
menghadapi dunia benda ini, Bapa, sehingga aku menjadi menderita karenanya.
Banyak hal telah kucoba untuk
menghentikan penderitaanku ini, namun rasanya segala usahaku itu telah gagal
dan sia-sia belaka.
Itulah sebabnya, mengapa sekarang ini
aku datang kepada Bapa untuk bertanya dan mencari akan jalan keluarnya.
Tolonglah, Bapa, limpahkanlah belas
kasihan dan kasih sayangmu kepadaku, dan tunjukkanlah kepadaku akan jalan
keluar yang dapat menghentikan penderitaanku ini!
7. Bapa:
Baik, baik, Ananda, Baik!
Cobalah sekarang pusatkan
perhatianmu, bahwa pada saat ini hatimu bimbang, ragu, dan takut menghadapi
dunia keadaan atau dunia benda ini. Dan lagi, engkau telah menyatakan, bahwa
banyak hal telah kau coba untuk menghentikan penderitaanmu, namun segala
usahamu telah gagal dan sia-sia. Nah, sekarang coba terangkan kepadaku, Ananda,
apakah yang pertama-tama telah kau coba untuk menghentikan penderitaanmu itu?
8. Ananda:
Bapa, sebagai seorang manusia biasa
yang hidup di dalam dunia keadaan ini, maka rasanya sudah selayaknya, jikalau
aku harus berpikir, berbuat, dan berusaha untuk memperoleh benda-benda guna
mempertahankan hidup di dunia ini. Barangkali hal seperti ini adalah merupakan
hal yang sudah jamak dan lumrah, karena faktanya, benda-benda memang sangat
diperlukan didalam kehidupan ini.
Begitulah didalam perjalanan hidupku
ini, ada saatnya dimana aku telah meyakinkan diriku sendiri, bahwa dunia benda
ini adalah tempatku hidup, dan adalah satu-satunya yang dapat memberikan
kepuasan dan kebahagiaan kepadaku.
Mulailah aku mencintai dunia benda
ini dengan penuh gairah dan semangat, dan benda-benda sebanyak-banyaknya,
dengan suatu harapan, supaya didalam hidup ini aku tidak menderita sengsara.
Siang dan malam, tiada henti-hentinya
aku berpikir dan bekerja dengan tiada menghitung-hitung lagi akan waktu,
tempat, dan keadaan tenagaku untuk dapat meraih benda-benda yang sangat
menggairahkan hatiku itu.
Bagaikan seorang pejaka yang gandrung
dan jatuh cinta kepada seorang gadis cantik jelita, maka begitu itu pulalah
halnya aku menjadi gandrung dan jatuh cinta kepada dunia benda ini.
Dengan nafsuku yang bergejolak,
mulailah aku meraih-raih, meraba-raba, mencumbu, dan merayu-rayu dunia benda
ini, dengan penuh harapan, kiranya dunia benda, sang kekasih ini, dapat aku
miliki secara pasti dan tetap, sehingga ia sudi memberi kepuasan dan
kebahagiaan kepadaku.
Tiba-tiba terperanjatlah aku, Bapa!
Bagaikan bertepuk sebelah tangan!
Cintaku kepada dunia benda ini tiada terbalas, karena ia memudar, dan
meninggalkan aku dengan diam-diam! Ternyata, Bapa, dunia benda yang sangat aku
gandrungi dan aku cintai itu tidak lain hanyalah penipu dan pemerdaya manusia
belaka.
Wataknya selalu bergerak berubah,
susah dipegang dengan tetap, dan tidak sanggup diam, walau hanya sekejap.
Tetapi, Bapa, meskipun aku sudah
mengetahui, bahwa dunia benda ini adalah penipu dan pemerdaya manusia, mengapa
aku ini masih bersikeras untuk tetap mencintainya dan tak sanggup melupakannya?
9. Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan,
bahwa dunia benda ini adalah penipu dan pemerdaya manusia, karena waktaknya
yang selalu bergerak berubah, susah di pegang dengan tetap, dan tidak sanggup
diam, walau hanya sekejap. Meskipun demikian, demikian katamu, engkau masih
tetap bersikeras untuk tetap mencintainya dan tak sanggup melupakannya. Dalam
keadaan yang demikian itu, lalu apa yang telah kau lakukan Ananda?
10. Ananda:
Pada waktu aku berada dalam keadaan
seperti itu, Bapa, maka pada waktu itu pernah terlintas didalam pikiranku suatu
pemikiran demikian: ”seandainya aku dapat mengetahui dari manakah ”ASALNYA”
dunia benda ini, dan seandainya aku dapat mengetahui akan ”RAHASIA” kelemahan
dan kekuatannya, maka akan mungkin sekali aku dapat menudukkan dan menjinakkan
dunia benda ini, sehingga mau tak mau ia akan bersedia untuk memberikan
kepuasan dan kebahagiaan kepadaku secara tetap dan pasti!”
Dan pada waktu itu terpikir pula
suatu pertanyaan didalam pikiranku demikian:
“Tetapi, bagaimanakah caranya untuk
dapat mengetahui akan asal mula dan rahasia dunia benda ini?
Ooo..., inilah jawabanya, pikirku:
Aku harus bertanya, dan belajar lebih
dahulu kepada seorang guru!” Maka setelah jawab itu membuat pikiranku mantap,
bertekadlah aku mencari seorang guru untuk maksud belajar kepadanya.
2. BELAJAR DAN
MEMPELAJARI
11. Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan,
bahwa untuk dapat mengetahui akan asal mula dan rahasianya dunia benda ini,
maka engkau harus belajar kepada seoarang guru.
Coba terangkanlah kepadaku, apakah
yang pertama-tama kau pelajari Ananda?
12. Ananda:
Aku telah belajar dan memperlajari
ilmu pengetahuan Bapa. Bertahun-tahun aku telah belajar dan mempelajari ilmu
pengetahuan eksakta, maupun apa yang dinamakan ilmu pengatahuan sosial.
13. Bapa:
Ananda, dapatkah engkau menerangkan
kepadaku, apakah yang dikatakan oleh
ilmu pengetahuan tentang asal mula dan rahasia dari pada dunia benda ini?
14. Ananda:
Setelah bertahun-tahun belajar dan
memepelajari ilmu pengetahuan, Bapa, maka ternyata, bahwa ilmu pengetahuan
tidak memberikan jawab dan petunjuk apapun mengenai apa yang kutanya dan
kucari, yaitu mengenai asal mula dan rahasia daripada dunia benda ini.
Ilmu pengetahuna hanyalah mempelajari
gejala-gejala yang terdapat didalam dunia keadaan ini, yaitu gejala-gejala yang
dapat dilihat, ditanggapi, dan dirasakan, sebagai suatu data yang ”memang harus
begitu, dan tidak bisa lain”. Bidang ilmu pengetahuan ternyata hanyalah
berputar-putar saja dengan tidak dapat melampaui batas-batas sifat dan
perwatakan daripada dunia benda itu sendiri. Dan bahkan, ilmu pengetahuan telah
mengajak dan mendorong-dorong aku untuk mengherani dan mentakjubi alam benda
dengan segala kodrat gerak perubahannya itu sebagai sesuatu yang ajaib, dan
wajib diterima dengan tidak perlu mengusut dan meneliti akan rahasia asal
mulanya.
Dengan menyadari, bahwa ilmu
pengetahuan tidak akan pernah mampu mengungkapkan rahasia asal mula dunia benda
yang telah membuat aku menderita ini, Bapa, maka dengan penuh rasa kecewa ilmu
pengetahuan terpaksa aku tunggalkan tanpa memperoleh penghargaan apapun
daripadanya, baik ijazah, ataupun gelar kesarjanaan, kecuali ”stempel” sebagai
seorang yang bodoh dan tidak terpelajar, seperti adanya aku yang sekarang ini.
15. Bapa:
Baiklah, Ananda, ilmu pengetahuan
telah kau tinggalkan, karena ia tidak akan pernah mampu mengungkapkan rahasia
asal mula dunia benda ini. Ilmu pengetahuan hanyalah mempelajari tentang
gejala-gejala yang dapat dilihat, dirasakan, dan ditangani didalam dunia
keadaan ini, sedang ia tidak akan pernah dapat mencapai apa yang ”berada”
dibalik benda-benda dan keadaan ini. Dan sesudah ilmu pengetahuan engkau
tinggalkan, lalu apa yang kaulakukan, Ananda?
16. Ananda:
Pendirianku masih tetap, Bapa! Dunia
benda ini adalah dunia yang telah membuat aku menderita. Tetapi, sekiranya aku
dapat mengetahui akan asal mula dan rahasia kekuatan dan kelemahannya, maka
kemungkinan untuk memperoleh kepuasan dan kebahagiaan dari dunia benda ini
masih ada. Oleh karena itu, maka aku masih tetap ingin belajar “asal mula dan rahasia dunia benda ini”.
Mulailah aku belajar lagi!
Bukan belajar ilmu pengetahuan, Bapa,
melainkan belajar filsafat, yaitu apa yang dibilang oleh sementara orang
sebagai “ilmunya” ilmu-ilmu, atau pandangan yang menjadi pokok dasar ladangan
ilmu-ilmu.
17. Bapa:
Lalu apa yang diajarkan oleh filsafat
kepadamu, Ananda? Dan apa pula yang kau peroleh dari ajaran filsafat itu?
Coba, terangkanlah kepadaku!
18. Ananda:
Ada berbagai aliran didalam ajaran
filsafat yang diajarkan oleh para pujangga, Bapa!
Tetapi, bagaimanapun banyaknya
aliran-aliran yang timbul dari ajaran filsafat itu, namun pangkal tolak semua
ajaran filsafat itu adalah sama, yakni:
Ke. 1. bahwa adanya sesuatu itu
adalah karena adanya kegiatan (action)
yang menimbulkan sebab akibat; dan oleh karenanya, maka tiap-tiap ajaran
filsafat cenderung untuk mencari, menemukan, dan menerangkan tentang adanya “sebab
pertama”;
Ke.2. bahwa dengan adanya kegiatan
yang menimbulkan sebab dan akibat, maka semua ajaran filsafat berlandaskan
pengertian serba dua (dualistic) yang
tunduk kepada hukum sebab akibat (Belanda: De
Wet van Corsaak en Gevolg)
19. Bapa:
Ananda, engkau telah mengatakan,
bahwa dengan belajar dan mempelajari filsafat, bengkau berharap akan bisa
mengungkapkan akan asal mula dan rahasia daripada dunia benda ini. Lalu,
mengenai asal mulanya dunia benda ini, Ananda, apakah yang diajarkan oleh
filsafat kepadamu?
20. Ananda:
Sudah aku katakan kepada Bapa, bahwa
cara berpikir para pujangga dengan filsafatnya itu adalah berlandasan kepada:
-
adanya
“sebab pertama” berupa kegaiatan (action)
yang menimbulkan sebab dan akibat;
-
pengertian
tentang hal-hal yang serba dua (dualistic),
yang tunduk kepada hukum sebab akibat;
Cara berpikir yang tersalur melalui
pengertian dan uraian sebab akibat ini, Bapa, yang dikatakan oleh para pujangga
sebagai ”berpikir logis” (logic thinking).
Bapa, didalam hubungannya dengan menjelaskan mengenai asal mula terjadinya
dunia benda itu, ada seorang pujangga yang menjelaskan demikian;
-
bahwa
dunia keadaan ini terjadi karena adanya ”sebab pertama” (prima causa);
-
bahwa
adanya “sebab pertama” itu adalah tanpa sebab, dan dinamakan
zat-mula-mula-tanpa-sebab (causeless
basic substance);
-
bahwa
zat-mula-mula-tanpa-sebab itu sudah mengandung didalam dirinya “sebab gerak”;
-
bahwa
“sebab gerak” itu sendiri tidak bergerak, namun mempunyai kuasa untuk
menggerakkan zat-mula-mula-tanpa-sebab itu;
Dikatakan selanjutnya oleh sang
pujangga demikian: “Zat-mula-mula-tanpa-sebab itu selalu bergerak, karena di
gerakkan oleh ‘sebab gerak’ yang tidak begerak, maka lalu terjadi unsur-unsur (elements) penyusun kepribadian dan dunia
keadaan sekitarnya”.
21. Bapa:
Lalu, bagaimanakan pendapatmu
sendiri, Ananda, mengenai apa yang diajarkan oleh sang pujangga itu? Dapatkah
ajaran itu masuk di akalmu? Coba terangkan jawabanmu!
22. Ananda:
Setelah lama sekali aku renung-renungkan
dengan bepikir bebas dan menggunakan akal sehat, maka ternyata olehku, bahwa
ajaran filsafat sang pujangga mengenai asal mula terjadinya dunia keadaan itu
tampak tidak masuk akal, tidak logis, dan bersifat takhayul!
23. Bapa:
Mengapa begitu, Ananda? Dan dimanakah
letak keterangan yang kau anggap tidak masuk akal, dan tidak logis itu?
24. Ananda:
Perihal terjadinya dunia keadaan,
Bapa, sang pujangga mengyatakan, bahwasanya: sebab-pertama” itu ada.
Dari penyataannya itu berarti bahawa
“sebab” itu memang ada. Tetapi dilain pihak, perihal adanya “sebab pertama”
itu, menurut sang pujangga adalah “tanpa sebab”.
Dari pernyataan itu berarti, bahwa
“sebab” itu tidak ada.
Dari kedua perangkat pernyataan
perihal “sebab pertama” itu lalu dapat disimpulkan, bahwa menurut sang
pujangga, ada itu sama dengan tidak ada. Ini adalah pernyataan yang tidak dapat
masuk diakal, Bapa, Tidak Logis!
25. Bapa:
Memang, Ananda, pernyataan yang
menyatakan bahwa “ada” itu sama dengan “tidak-ada”, itu adalah pernyataan yang
tidak logis!
26. Ananda:
Dan lagi, Bapa, jikalau sang pujangga
menyatakan bahwa adanya “sebab pertama” itu tanpa sebab, maka pernyataan itu
akan berarti, bahwa dari tidak apa-apa lalu bisa timbul apa-apa.
Pernyataan ini juga tidak masuk akal
dan tidak logis!
Sebab, sesuatu yang ada, itu pasti
timbul dari sesuatu yang lain, yang memang sudah ada sebelumnya, tidak peduli
bagaimanapin bentuk dan sifatnya.
27. Bapa:
Tetapi, Ananda, bagaimanakah
misalnya, jikalau ada orang menyatakan kepadamu, bahwa apa yang ”ada” itu
timbul dari yang ”tidak”, dan yang ”tidak” itu adalah ”gaib”?
28. Ananda:
Jikalau dinyatakan, bahwa yang ”ada”
itu timbul dari yang ”gaib”, itu sama saja dengan menyatakan, bahwa yang ”ada”
itu timbul dari apa yang ”ada”, dan bukannya yang ”ada” itu timbul dari apa
yang ”tidak ada”.
29. Bapa:
Lalu, Ananda, bagaimanakah pendapatmu
tentang teori ”sebab gerak” yang di kemukakan oleh sang pujangga itu?
30. Ananda:
Teori sang pujangga mengenai ”sebab
gerak” itupun tidak masuk akal, dan tidak logis, Bapa!
Disatu pihak, sang pujangga
mengatakan, bahwa ”sebab gerak” itu ada di dalam zat mula-mula, dan ”sebab
gerak” itu tiada bergerak.
Dari pernyataan itu akan berarti,
bahwa disitu tidak ada gerak.
Tetapi dilain pihak, sang pujangga
mengatakan, bahwa ”sebab gerak” itu mempunyai kuasa untuk menggerakan zat
mula-mula.
Dari pernyataan itu akan berarti,
bahwa disitu ada gerak yang menggerakkan. Mari kedua perangkat pernyataan sang
pujangga perihal ”sebab garak” itu, maka dapat disimpulkan, bahwa sang pujangga
menyatakan: gerak itu sama dengan tidak gerak.
Pernyataan itu tidak dapat masuk
diakal, dan tidak logis, Bapa!
31. Bapa:
Setelah ternyata, bahwa ajaran
filsafat itu tidak dapat masuk di akalmu, Ananda, lalu bagaimana sikapmu
selanjutnya?
32. Ananda:
Teori tentang ”sebab pertama”, “Zat
mula-mula tanpa sebab”, “sebab gerak”, ”ada” dan ”tidak ada” yang semuanya itu
merupakan azas ajaran (doctrine)
filsafat yang tidak dapat masuk diakalku, dan aku anggap berbau takhayul
belaka, karena hanya merupakan kepercayaan membuta tuli yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan menurut akal sehat dan pemikiran bebas, maka dengan
penuh kekecewaan terpaksa sang pujangga dengan ajaran filsafatnya itu harus aku
tinggalkan.
Dari ajaran filsafat aku tidak dapat
memperoleh penghargaan apapun, dan aku tidak dapat dianggap sebagai murid yang
setia bagi sang pujangga dan filsafat.
33. Bapa:
Engkau hendak mengetahui akan rahasia
asal mula dunia benda ini dengan belajar dan mempelajari ajaran daripada para
guru, Ananda, sedangkan ilmu pengetahuan dan ajaran filsafat telah engkau
tinggalkan. Lalu apa yang kau lakukan selanjutnya sesudah itu, Ananda?
34. Ananda:
Belajar dan mempelajari ajaran
seorang guru untuk mengetahui akan asal mula daripada dunia benda ini masih
tetap menjadi keyakinanku pada waktu itu, Bapa! Oleh karena itu, maka aku masih
bertekad akan belajar lagi kepada seorang guru.
Ada sementara orang yang pada waktu
itu aku anggap mempunyai cukup pengetahuan, telah menyatakan kepadaku, bahwa
dunia benda ini berasal mula dari Sang Pencipta, yaitu yang sudah sangat
terkenal dengan sebutan: ALLAH, Tuhan yang Maha Esa.
Maka setelah saya menemukan seorang
guru, yang menamakan dirinya sebagai ”guru agama”, mulailah aku belajar
kepadanya mengenai ilmu Ke- Tuhanan.
35. Bapa:
Perihal asal mula dari pada
benda-benda ini, Ananda, apakah yang di nyatakan oleh guru agama itu kapadamu?
Coba terangkan kepadaku!
36. Ananda:
Sang guru agama menyatakan kepadaku,
Bapa, bahwa langit, bumi, dan segala isinya yang ada ini adalah ciptaan Allah,
Tuhan yang Maha Esa. Jikalau Allah hendak menciptakan sesuatu, demikian kata
sang guru, maka cukuplah ia berkata: “Jadilah! Maka segala sesuatu menjadi ada,
dan terjadi dengan seketika”.
Maka bertanyalah aku kepada sang guru
tentang apa atau siapakah Allah Tuhan yang Maha Esa itu.
Pertanyaan ini aku ajukan kepada sang
guru, sebab, jukalau memang benar, bahwa segala sesuatu yang ada ini berasal
mula dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa, maka mengenal dengan sejela-jelasnya akan
apa atau siapakah Allah itu sebetulnya, adalah merupakan langkah pertama yang
paling penting.
37. Bapa:
Lalu apa yang diterangkan oleh sang
guru agama itu mengenai Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu, Ananda?
38. Ananda:
Dikatakan oleh sang guru itu akan
salah satu sifat daripada Allah itu demikian:
“Tiada Tuhan yang lain, kecuali
Allah; Allah itu Esa, artinya: satu dan sendiri, tiada kawan, sekutu, ataupun
tandingan bagi Allah itu”.
Atas jawaban itu, maka bertanyalah
aku kepada sang guru: “Jikalau Allah itu satu dan sendiri, tiada kawan, sekutu,
ataupun tandingan bagi Nya, lalu bagaimankah kedudukan Allah itu terhadap
manusia dan segala ciptaan Nya yang lain-lain itu?”
Kemudian sang guru agama menjawab:
“Allah berkedudukan sebagai ‘yang menciptakan’, sedangkan manusia dan segala ciptaan-Nya
yang lain-lain itu berkedudukan sebagai ‘yang diciptakan’”.
Atas jawaban itu, maka bertanyalah
aku selanjutnya kepada sang guru: “Kalau demikian halnya, maka Allah bukanlah
sendiri lagi, dan bukannya tiada tandingan lagi, sebab disamping ‘yang
menciptakan’, disitu masih ada yang lain, yaitu ‘yang diciptakan’! bukankah ‘yang
diciptakan’ itu lalu menjadi tandingan bagi Allah ‘yang menciptakan’ itu? Lalu
bagaimankah mempertanggung jawabkan Ke-Esaan Allah itu, guru?”
39. Bapa:
Kemudian, bagaiman cara sang guru
mempertanggungjawabkan keterangan tentang Ke-Esaan Allah itu, Ananda?
40. Ananda:
Sang guru agama itu tidak memberikan
pertanggungjawaban apa-apa terhadap keterangan itu, Bapa, kecuali menghardik
aku dengan mengatakan: “Pokoknya,
didalam ajaran agama engkau harus percaya kepada apa yang sudah tersurat
didalam Kitab Suci, dan jangan terlalu banyak bertanya yang bernadakan
membantah dan tidak percaya!”
Maka, terdiamlah aku sementara,
karena hardikan itu. Tampaknya sang guru menjadi marah, karena kebingungannya
tak dapat menjawab pertanyaanku itu.
41. Bapa:
Apakah dengan hardikan itu engkau
sudah tidak mengajukan pendapat ataupun mengajukan pertanyaan lagi, Ananda?
42. Ananda:
Tidak, Bapa, dengan hardikan itu aku
tidak merasa berkecil hati, dan aku masih mengajukan pertanyaan lagi, yang aku
anggap sebagai suatu pertanyaan yang sangat penting dan mendasar.
Bertanyalah aku kepada sang guru
agama itu demikian: “guru, apakah Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu
sungguh-sungguh ada? Jikalau Allah itu sungguh-sungguh ada maka dimanakah
‘singgasana-Nya’?”
Pertanyaanku itu dijawab oleh sang
guru:
“Allah itu sungguh-sungguh ada! Allah
itu Yang Awal, Yang Akhir, Yang Lahir, dan Yang Bathin, dan telah bersama
engkau, dimana saja engkau berada. Allah itu lebih dekat kepadamu daripada urat
batang lehermu! Allah itu tidak dapat dilihat dengan mata, dan hanya dapat
didekati melalui sembahyang, doa, dan permohonan!”
43. Bapa:
Bagaimana, Ananda, puaskah engkau
dengan jawaban sang guru itu? Coba terangkan jawabmu kepadaku!
44. Ananda:
Belum, Bapa, aku belum puas dengan
jawaban sang guru itu, karena aku belum dapat memahami apa yang ia maksudkan.
Maka aku bertanya lagi kepada sang
guru, sembil memberikan pendapatku demikian:
“Jikalau Allah, Tuhan Yang Maha Esa
itu dinyatakan sebagai ‘ada’, guru, maka Allah itu adalah sesuatu keadaan. Dan
sebagai suatu keadaan, maka tentunya Allah itu akan mempunyai sifat yang sama
dengan ‘yang diciptakannya’. Padahal Allah itu, menurut guru, adalah
berkedudukan sebgai ‘yang menciptakan’. Bagaimana jelasnya, guru?”
“Pokoknya, kamu harus percaya kepada
apa yang tersurat didalam Kitab Suci, bahwa Allah itu ‘ada’. Dan tentang
bagaimana ‘ada-Nya’ Allah itu tidaklah perlu kamu persoalkan, Yang penting,
kamu dekati Allah dengan sembahyang, doa, dan permohonan!”
Tetapi, guru, demikian aku bertanya
lagi, bagaimana mungkin aku menyembah Allah (bersembahyang) dengan doa dan
permohonan, selama aku belum dapat mengenali dengan jelas akan apa atau
siapakah Allah itu, dan aku juga belum dapat mengenali dengan jelas akan dimana
‘singgasana Allah’ atau ; tempat berada-Nya Allah itu?
Bukankah bersembahyang, berdoa, dan
memohon dengan cara yang serba tidak jelas itu akan menimbulkan
kesalahan-kesalahan dan kesesatan? Menanggapi pertanyaan dan pendapatku ini,
Bapa, rupanya sang guru agama itu menjadi sangat marah dan tersinggung, dan
dianggapnya aku ini sebagai seorang pembantah.
Ternyata, Bapa, bahwa sang guru agama
itu tidak mampu memberikan petunjuk dan penerangan kepadaku akan hal yang
sangat penting dan mendasar yang aku perlukan. Sang guru tidak mampu
menerangkan kepadaku akan apa atau siapakah Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu
sesungguhnya; dan ia pun tidak mampu menunjukkan kepadaku dengan cara yang
dapat diterima oleh akal sehat dan meyakinkan tentang dimanakan ‘singgasana’
Allah itu, serta bagaimana cara mendekati dan menghadap kehadirat Allah itu.
Karena alasan-alasan itulah, Bapa,
maka sang guru agama dengan Ilmu Ke-Tuhanan-Nya itu terpaksa harus aku
tinggalkan dengan penuh rasa kecewa dan tak puas.
Dari ilmu Ke-Tuhanan itu aku tidak
memperoleh penghargaan apapun, kecuali umpatan sebagai ‘anak setan’ yang
terlaknat, dan sebagai seorang “atheis” yang tidak mau beriman kepada Allah,
Tuhan Yang Maha Esa.
45. Bapa:
Ya, ya, ya! Baiklah, Ananda, engkau
telah berani berbicara spontan, wajar, dan terus terang menurut apa adanya
kepadaku mengenai pengalaman hidupmu.
Nah, lalu apa yang kau lakukan
sesudah itu, Ananda? Masihkah engkau berusaha belajar lagi kepada seorang guru
untuk dapat mengetahui akan asal mulanya dunia benda ini?
46. Ananda:
Benar, Bapa, sesudah sang guru agama
dengan ilmu Ke-Tuhanan-nya itu aku tinggalkan tanpa memperoleh hasil apapun,
maka mulailah aku belajar lagi kepada seorang guru yang lain.
Waktu itu, aku mulai belajar Ilmu Kebathinan,
Bapa!
47. Bapa:
Mengenai asal mulanya dunia benda
ini, Ananda, apakah yang diajarkan oleh ilmu Kebathinan kepadamu?
48. Ananda
Sehubungan dengan asal mulanya dunia
benda ini, Bapa, sang guru ilmu Kebathinan itu menyatakan, bahwa segala apa
yang ada ini berasal dari Hidup. Maka bertanyalah aku kepada sang guru itu
tentang apa atau siapakah Hidup itu, yang kemudian di jawabnya demikian: “Hidup,
itu adalah Roh Tuhan Yang Maha Esa, dan Hidup itu sendiri adalah Tuhan Yang
Maha Esa, yang mempunyai kuasa untuk menciptakan dan menghidupkan segala apa
yang ada ini.
Hidup itu satu atau tunggal; ada
dimana-mana, dan meliputi seluruh alam yang tek terbatas ini. Hidup itu kekal
selama-lamanya, tidak pernah mati, tidak ada awalnya, dan tidak ada akhirnya.
Hidup itu suci dan bersih dari
nafsu”.
Selanjutnya aku bertanya lagi kepada
sang guru tentang dimanakah ”singgasana” Sang Hidup, yang dikatakannya sebagai
mempunyai kuasa untuk menciptakan dan menghidupkan segala apa yang ada ini, dan
aku tanyakan pula tentang cara untuk mendekati dan menghadap kepada Sang Hidup
itu.
49. Bapa
Lalu, bagaimanakah penjelasannya
mengenai ”singgasana” dan cara pendekatan kepada apa yang dinamakan sebagai
Sang Hidup itu Ananda?
50. Ananda
Mengenai ”singgasana” dan cara
mendekati dan menghadap kepada Sang Hidup itu, maka sang guru ilmu Kebathinan
itu menjelaskan kepadaku demikian: ”Hidup” itu ”bersemayam” didalam hati
(bathin) manusia. Dan oleh karena Hidup itu suci dan bersih dari nafsu , maka
manusia yang hatinya suci dan bersih dari nafsu sajalah yang dapat ‘menemukan’
dan menghadap Sang Hidup didalam hatinya sendiri”.
Dan kemudian daripada itu, Bapa, aku
bertanya lagi kepada Sang Guru tentang apa yang harus aku lakukan, supaya
hatiku (bathiniku) menjadi suci dan bersih dari nafsu, sehingga memungkinkan
aku ‘menemukan’ dan menghadap Sang Hidup didalam hatiku sendiri.
Maka jawablah oleh Sang Guru, bahwa
aku harus mengusahakan dua hal yang sangat penting, Yaitu:
-
Pertama,
bahwa didalam kehidupan sehari-hari, aku harus berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk mengendalikan hawa nafsu, dan
-
Kedua,
bahwa pada malam hari, aku harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
melakukan “meditasi” dengan duduk diam untuk mengosongkan pikiran.
51. Bapa:
Lalu bagaimana, Ananda, apakah semua
petunjuk sang gutu itu sudah kau jalankan? Apa yang kaulakukan untuk
mengendalikan hawa nafsu, Ananda?
52. Ananda:
Tentu saja semua petunjuk sang guru
aku jalankan, Bapa, karena aku mempunyai niat dan tekad yang sungguh-sungguh
untuk dapat “menemukan” dan menghadap Sang Hidup, yang dikatakan oleh sang guru
sebagai asal mula daripada segala hal yang ada ini.
Didalam ajaran mengendalikan nafsu,
maka kepadaku diwajibkan untuk berpikir, berbuat dan berbicara yang baik-baik
saja, dan supaya dihindarkan yang buruk-buruk. Hal ini aku usahakan dengan
sungguh-sungguh, penuh kesabaran, ketekunan, dan ketaatan, sesuai dengan petunjuk
sang guru. Tetapi, Bapa, telah ternyata didalam praktek pelaksanaannya, ajaran pengendalian
nafsu seperti yang di ajarkan oleh sang guru kebathinan itu amat sulit
dijalankan, jikalau tidak hendak aku katakan sebagai tidak mungkin bisa dijalankan.
53. Bapa:
Mengapa harus begitu, Ananda, coba
jelaskan apa yang engkau maksud!
54. Ananda:
Didalam praktek, Bapa, aku sudah
berusaha berpikir tentang yang baik-baik menurut ukuran dan penilaianku
sendiri, namun sementara dengan serta merta dan tidak aku sengaja,
pikiran-pikiran tentang yang buruk-buruk segera muncul didalam pikiranku.
Hal semacam ini selalu tidak dapat kuhindari,
Bapa, sebab aku tidak akan pernah berpikir tentang yang baik, jikalau aku tidak
pernah berpikir tentang apa yang buruk. Pikiran-pikiran tentang yang baik dan
yang buruk itu melulu muncul berganti-ganti didalam pikiranku dengan tidak
dapat aku kendalikan. Jadi, berpikir tentang yang baik-baik saja, itu rasanya
tidak mungkin bisa dilakukan didalam praktek.
Tentang kesulitan ini sudah aku
kemukakan kepada sang guru, namun sang guru itu sendiri tidak mampu memberikan
suatu cara, bagaimana supaya aku ini bisa berpikir tentang yang baik-baik saja.
Sang guru hanya menyatakan kepadaku,
supaya pikiran yang baik saja yang diwujudkan didalam perbuatan dan ucapan.
Sedangkan pikiran yang buruk jangan diwujudkan didalam perbuatan dan ucapan.
Bapa, mewujudkan perbuatan dan ucapan
yang baik, itupun rasanya sulit dijalankan didalam praktek, jikalau tidak
hendak aku katakan sebagai tidak mungkin dijalankan, selama tidak diketahui
lebih dahulu akan apakah makna yang sebetulnya daripada ”baik” dan ”buruk” itu.
55. Bapa:
Apakah yang dinyatakan oleh Ilmu
Kebathinan tentang ”perbuatan baik” dan ”perbuatan buruk” itu, Ananda?
56. Ananda:
Banyak keterangan yang diberikan oleh
sang guru Kebathinan itu kepadaku mengenai penggolongan perbuatan, yaitu mana
yang digolongkan sebagai ”perbuatan baik” dan mana yang digolongkan sebagai
”perbuatan buruk”.
Namun dasar ukurannya yang dipakai
didalam penggolongan itu tidak dapat diterima dengan meyakinkan oleh akal
sehatku. Sebab, fakta kehidupan ini menunjukka kepadaku, bahwa ”perbuatan baik”
itu bisa berubah menjadi “perbuatan buruk”, dan sebaliknya, ”perbuatan buruk”
itu bisa berubah menjadi ”perbuatan baik”. Tergantung kepada waktu, tempat dan
keadaan.
Pendek kata, ajaran pengendalian
nafsu dengan mengendalikan nafsu dengan mengendalikan pikiran, perbuatan, dan
ucapan, seperti yang diajarkan pleh sang guru ilmu Kebathinan itu tidak mungkin
dijalankan didalam praktek, dan akan merupakan usaha yang sia-sia belaka.
57. Bapa:
Bagaiman halnya dengan ”meditasi”,
Ananda? Apakah yang di ajarkan oleh Ilmu Kebathinan kepadamu?
58. Ananda:
Menurut sang guru, Bapa, ”meditasi”
itu adalah duduk diam (still sitting),
dan ”mengosongkan” pikiran. Dengan tata cara ”meditasi” yang telah ditunjukkan
oleh sang guru kepadaku, tiap-tiap malam aku melakukan ”meditasi” dengan cara duduk
diam.
Dengan mengosongkan pikiran, demikian
kata sang guru, maka seseorang akan mencapai hati (bathin) yang suci dan bersih
dari nafsu, dan dengan cara demikian itu seseorang akan dapat ”menemukan” dan
”menghadap” kepada Hidup didalam hatinya.
Tetapi, Bapa, usaha untuk
mengosongkan pikiran dengan tata cara yang diajarkan oleh sang guru itu,
kiranya sangat sulit dilakukan didalam praktek.
59. Bapa:
Apa dan bagaimana kesulitannya,
Ananda?
Coba, terangkan pengalammu itu!
60. Ananda:
Makin aku berusaha untuk mengosongkan
pikiran, Bapa, maka aku memperoleh dua buah pengalaman yang tidak
menguntungkan, yaitu: Pertama, pernah aku berusaha untuk tidak berpikir
apa-apa, kecuali berpikir tentang ”kosongnya” pikiran saja, sambil
menunggu-nunggu munculnya Sang Hidup.
Dengan cara ini, pikiranku bukannya
menjadi ”kosong”, malah justru sebaliknya, yaitu aku malah lebih banyak
berpikir tentang Sang Hidup yang membayangkan begini dan begitu. Usaha ini
ternyata hanya merupakan usaha yang sia-sia dan melelahkan.
Pengalaman yang kedua ialah, bahwa
pernah aku berusaha untuk melupakan pemikiran-pemikiran tentang apa-apa yang
telah pernah terjadi didunia ini. Usaha ini ternyata telah membawa aku kedalam
keadaan terlupa, dan akhirnya tertidur dan bermimpi tentang hal-hal yang
aneh-aneh, tanpa berhasil untuk ”menemukan” sang hidup.
Perihal kedua macam pengalaman ini
pernah aku kemukakan kepada sang guru, Bapa, namun ia tidak memberikan petunjuk
apa-apa, kecuali mengharapkan supaya aku terus berusaha, sambil “menemukan cara”
sendiri untuk ”mengosongkan” pikiran.
61. Bapa:
Lalu, Ananda, apakah engkau sudah
berhasil ”menemukan cara” sendiri untuk ”mengosongkan pikiran” itu?
62. Ananda:
Tidak, Bapa, aku tidak pernah
berhasil didalam menemukan cara untuk ”mengosongkan” pikiran itu!
Karena telah ternyata, bahwa sang
guru ilmu Kebathinan itu tidak mampu untuk memberikan petunjuk yang jelas yang
dapat diterima oleh akal sehat, dan iapun tidak mampu memberikan bimbingan
praktek ”pengendalian nafsu” dan ”meditasi” dengan cara yang meyakinkan, maka
dengan penuh rasa kecewa dan tak puas sang guru terpaksa aku tinggalkan tanpa
hasil apapun. Aku ternyata bukan murid yang baik untuk Ilmu Kebathinan.
63. Bapa:
Dan sesudah ilmu Kebathinan engkau
tinggalkan, Ananda, apakah yang kau usahakan? Masih belajar lagi kepada seorang
guru-kah?
64. Ananda:
Benar, Bapa, untuk dapat mengetahui
akan asal mula daripada dunia benda ini, aku masih belajar kepada seorang guru
yang lain lagi. Waktu itu aku belajar ilmu Tenaga Gaib.
65. Bapa:
Apakah yang di maksudkan dengan ilmu
tenaga Gaib itu, Ananda? Dan apa pula yang diajarkan oleh ilmu itu kepadamu?
66. Ananda:
Ada seseorang yang mengatakan
kepadaku, Bapa, bahwa dunia benda itu terjadi dan berasal dari tenaga Gaib,
yaitu ”Gerak Sendirinya” yang berada diluar kemauan dan pengertian akal
manusia.
Namun demikian, begitulah kata orang
itu, Tenaga Gaib itu dapat ”didatangkan” dengan penyerahan diri dan permohonan,
sehingga dengan cara demikian, maka manusia akan memiliki ”mujijat” yang
mengherankan di dunia ini.
Berdasarkan atas keterangan itulah,
Bapa, maka mulailah aku belajar kepada
seorang guru ilmu tenaga Gaib itu.
Oleh sang guru diajarkan kepadaku
tentang tata cara penyerahan diri dan memohon kepada Tenaga Gaib itu.
Selanjutnya sang guru mengatakan,
bahwa dengan mengambil sikap badan yang tertentu, dan mengucapkan didalam hati
akan doa-doa tertentu, maka aku akan mengalami ”gerak sendirinya” yang
membawakan ”mujijat”.
Ini merupakan disiplin, dan harus
dilatih terus menerus secara teratur, demikian kata sang guru.
67. Bapa:
Lalu, apa hasilnya, Ananda?
68. Ananda:
Menurut pengalaman didalam melakukan
”latihan gerak” itu, Bapa, maka ternyata, bahwa apa yang dinamakan ”gerak
sendirinya” itu tidak lebih daripada gerak-gerak reflex yang timbul dari luapan-luapan
rangsangan perasaan (emotional
excitements), oleh sebab penggambaran-penggambaran khayal rekaanku sendiri.
Dan ternyata, Bapa, bahwa apa yang
diajarkan oleh sang guru ilmu Tenaga Gaib itu tidak ada sangkut pautnya dengan
apa yang sedang kutanyakan dan kucari, yaitu tentang asal mula daripada dunia
benda ini.
Ilmu Tenagan Gaib yang diajarkan oleh
sang guru ternyata tidak dapat melampaui sifat dan perwatakan dunia benda itu
sendiri, dan bahkan, sehari-harinya sang guru hanya mengherani ”hasil-hasil”
duniawi yang di capai melalui apa yang dinamakan sebagai ”Latihan Gerak” itu,
dan tidak putus-putusnya sang guru mengherani ”ilmunya” itu.
Bagi sang guru ilmu tenaga Gaib,
Bapa, asal mula dunia benda ini tidak dijadikan permasalahan, dan tetap merupakan
rahasia yang tak terungkapkan; dan oleh karena itu ilmu Tenaga Gaib tidak
berjalan selaras dengan apa yang hendak kucari.
Dan lagi, sang guru ilmu Tenaga Gaib
yang sendirinya heran atas ”ilmunya” itu, hanyalah menunjukkan, bahwa sang guru
tidak mempunyai pengetahuan yang benar, kecuali takhayul belaka.
Itulah sebabnya, mengapa sang guru
ilmu Tenaga Gaib dengan segala ajarannya itu terpaksa aku tinggalkan dengan
penuh rasa kecewa dan tak puas.
69. Bapa:
Lalu, belajar dan berguru apa lagi,
Ananda, setelah ilmu Tenaga Gaib engkau tinggalkan?
3. MEMBENCI DAN
MENOLAK DUNIA BENDA
70. Ananda:
Tidak, Bapa, sejak itu aku sudah
tidak belajar dan berguru lagi.
Aku sudah merasa puas dengan ketidak
puasanku terhadap guru-guru dan ilmu-ilmu, karena tidak ada satupun diantara
guru-guru dan ilmu-ilmu itu yang sanggup menunjkkan kepadaku dengan cara yang
dapat diterima oleh akal sehat dan menyakinkan akan asal mula dan rahasia
daripada dunia benda yang sudah membuat aku menderita ini.
Dengan rasa yang setengah putus asa,
Bapa, pada waktu itu terpikirlah olehku, bahwa dunia benda ini sungguh-sungguh
tidak layak untuk diraih dan dicintai, bahkan, barang kali yang paling tepat
menghadapi dunia benda ini adalah menolak dan membencinya!
Pada waktu itu, Bapa, sudah tetaplah
rasanya pendirianku, yaitu aku hendak mengacuhkan, membenci, dan menolak dunia
benda ini.
71. Bapa:
Coba, Ananda, terangkan kepadaku,
bagaimana caramu mengacuhkan, membenci, dan menolak dunia benda ini!
72. Ananda:
Pada waktu itu, Bapa, mulailah aku menyendiri,
dan mengasingkan diri dari keramaian pergaulan masyarakat. Aku tidak melakukan
pekerjaan apa-apa.
Aku mulai mengabaika makan, minum,
pakaian, kebersihan, dan kesehatan tubuhku, bahkan, aku membenci tubuku
sendiri, yang aku anggap sebagai ”sarang” tempatnya perasaan menderita karena
dunia benda ini.
Waktu itu aku berpikir, bahwa justru
aku hidup bertubuh inilah yang menjadikan sebab, mengapa aku ini lalu bisa
merasakan tak puas dan menderita.
Maka sepintas telah terpikir olehku
untuk melakukan bunuh diri saja dengan mengantungkan diri diatas pohon dengan
tali pengikat pada leher.
Namun, sebelum hal itu aku lakukan,
masih sempat pula aku berpikir lagi demikian:
Jikalau aku ini mati dengan bunuh
diri, lalu siapakah yang bakal merasakan perasaan puas dan bahagia yang di
cari-cari itu?
Mungkinkah aku ini akan merasa puas
dan bahagia disorga sesudah mati? Tetapi, sorga itu apa? Dan dimana? Ah,
membingungkan!
Sementara itu, Bapa, sebagai akibat
daripada tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur, badanku menjadi lemas
lunglai, tak berdaya apa-apa, jatuh sakit keras, dan akhirknya tidak sadar
diri.
Setelah ditolong oleh orang lain, dan
sadar diri kembali, maka mulailah aku insyaf, bahwa mengacuhkan, menolak, dan
membenci tubuh serta dunia benda ini bukannya mendatangkan kepuasan dan
kebahagiaan, bahkan sebaliknya, justru mendatangkan kesakitan dan penderitaan.
Bapa, hatiku makin bimbang, ragu, dan
takut tak terperikan menghadapi dunia benda ini.
Tak tahu lagi, apa yang harus aku
lakukan sekarang, sebab segala usaha telah aku lakukan untuk berusaha
menghentikan ketidakpuasan dan penderitaanku ini. Tolonglah, Bapa, tunjukan
jalan keluar kepadaku!
BAB II
PENENLITIAN DAN
PERENUNGAN MELALUI PEMUNCAKAN AKAL
1. KETIDAKTAHUAN
(KEBODOHAN)
73. Bapa:
Baik, baik, Ananda, baik!
Sekarang, coba pusatkan perhatianmu,
sambil dengarkan baik-baik akan apa yang aku katakan ini, karena aku hendak
mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu.
Dan cobalah engkau menjawab
pertanyaanku ini dengan secara spontan, sederhana, dan wajar saja, dan jangan
takut-takut salah!
Ananda, coba katakanlah kepadaku,
apakah yang menarik perhatianmu, tatkala engkau untuk pertama kalinya melihat,
bertemu, dan berbicara dengan aku?
74. Ananda:
Pada saat pertama kali aku berjumpa
dan berbicara dengan Bapa, maka aku melihat sinar cahaya kemuliaan
berwarna-warni yang memancar keluar dari seluruh kepribadian Bapa.
Dari pandangan mata, ucapan
kata-kata, gerakan tangan, dan mimik wajah Bapa telah memancar sinar cahaya
yang menerangkan dan menenteramkan hati. Melihat sinar cahaya itu, Bapa, hatiku
menjadi tenteram, sehingga aku merasa senang dan berbahagia.
75. Bapa:
Nah, Ananda, coba sekarang katakan
kepadaku, apakah yang melihat, apakah yang menanggapi perasaan tenteram, dan
siapakah yang mengalami perasaan senang itu?
76. Ananda:
Bapa, begitu mataku melihat
kepribadian Bapa, maka pikiranku menanggapi perasaan tenteram, dan kemudian aku
mengalami perasaan senang.
77. Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan,
bahwa begitu matamu melihat kepribadianku, maka pikirankmu menanggapi perasaan
tenteram, dan kemudian engkau mengalami perasaan senang.
Dari pernyataan itu, Ananda, maka
mungkin bisa terjadi hal yang sebaliknya, yaitu karena matamu melihat,
pikiranmu menanggapi, maka engkau mengalami perasaan susah, Apakah begitu,
Ananda?
78. Ananda:
Benar, Bapa, memang demikian itulah,
dan tidak bisa lain! Sebab, jikalau tidak
karena mata melihat, dan pikiran menanggapi, maka tentunya aku tidak akan
mengalami perasaan senang ataupun susah.
79.Bapa:
Ananda,
engkau telah menyatakan, bahwa pada saat ini engkau sedang dalam keadaan
menderita susah.
Dan
lagi, engkau telah menyatakan, bahwa engkau dapat mengalami susah itu adalah
oleh matamu melihat, dan pikiranmu menanggapi.
Seandainya,
Ananda, engkau dapat mengetahui dan menguasai sumber yang memberikan
penglihatan dan sumber yang menyebabkan pikiranmu menanggapi, maka dapat
dipastikan, bahwa engkau akan dapat dengan mudah menghentikan kesusahanmu.
Sebab, dengan tidak mengetahui sumber
yang memberikan penglihatan, dan tidak mengetahui akan sumber yang menyebabkan
pikiran menanggapi, maka engkau tidak mungkin dapat menghentikan kesusahan dan
penderitaanmu. Hal ini, Ananda, dapat diperumpamakan dengan seorang tuan rumah
yang disusahkan oleh tikus-tikus yang menggerogoti makanan dan merusak pakaiannya
setiap malam dirumahnya.
Kesusahan tuan rumah yang disebabkan
oleh tikus-tilus itu akan dapat dihentikan, seandainya tuan rumah itu
mengetahui akan tempat persembunyiannya tikus-tikus yang merugikan itu!
Dan sekarang, Ananda, aku hendak
bertanya kepadamu!
Tahukah engkau, dimanakah sumber yang
memberikan penglihatan itu?
80. Ananda:
Aku tahu, Bapa, seperti halnya setiap
orang pun juga tahu, bahwa sumber yang memberikan penglihatan itu adalah Mata.
81. Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan,
bahwa sumber yang memberikan pengkihatan itu adalah mata.
Dan sekarang, Ananda, tahukah engkau
dimanakah beradanya mata itu?
82. Ananda:
Sumber yang memberikan penglihatan
adalah mata, dan mata itu berada pada pemukaan wjah, Bapa!
83. Bapa:
Bagus, Ananda, mata berada pada
permukaan wajah. Tetapi, Ananda, benarkah bahwa mata itu adalah sumber
memberikan penglihatan?
Jikalau benar demikian, maka aku
hendak bertanya kepadamu, Ananda. Dengan mata yang terpejam, Ananda,
terlihatkah kursi yang berada disudut kamar itu?
84. Ananda:
Dengan mata terpejam, Bapa, tentu
saja kursi yang berada disudut kamar itu tidak dapat terlihat. Sebab, yang
memberikan penglihatan itu bukanlah mata yang terpejam, melainkan mata yang
terbuka.
85. Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan,
bahwa mata yang terpejam tidak dapat memberikan penglihatan.
Hanya mata yang terbukalah yang dapat
memberikan penglihatan. Sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda!
Seandainya, Ananda, ruangan dimana
kita ini berada, aku tutup semua jendela-jendela dan pintunya, dan aku padamkan
semua lampu-lampu yang menyala itu, sehingga ruangan ini menjadi gelap gulita,
maka dapatkah kursi itu terlihat oleh mata terbuka?
86. Bapa:
Tentu saja tidak terlihat, Bapa!
Dalam keadaan gelap gulita yang tiada
cahaya, kursi itu tiada terlihat oleh mata yang terbuka.
Kalau demikian halnya, Bapa, maka
yang dapat memberikan penglihatan itu adalah mata terbuka yang diberi syarat
cahaya.
87. Bapa:
Engkau telah meyatakan, Ananda, bahwa
yang memberikan penglihatan itu adalah mata terbuka yang diberi syarat cahaya.
Jikalau benar demikian, Ananda, maka
aku sekarang bertanya kepadamu! Bagaimanakah kiranya, jikalau engkau tertidur
dengan matamu terbuka, sedangkan disitu semua lampu-lampu bersinar dengan
cahayanya yang terang? Dapatkah mata itu memberikan penglihatan?
88. Ananda:
Didalam keadaan tertidur, Bapa, maka
mata yang terbuka tidak dapat memberikan penglihatan, meskipun disitu terdapat
sinar lampu yang terang.
89. Bapa:
Apa sebabnya demikian, Ananda?
Coba terangkan jawabmu!
90. Ananda:
Didalam keadaan tertidur, mata
terbuka yang telah diberi syarat cahaya, tidak dapat memberikan penglihatan, karena didalam keadaan tertidur, pikiranku tidak
menanggapi apa-apa.
91. Bapa.
Kalau begitu, Ananda, lalu apakah
yang memberikan penglihatan itu?
Mata terbuka yang telah diberi syarat
cahayakah?
92. Ananda:
Bukan, Bapa, mata terbuka yang telah
diberi syarat cahaya tidak dapat memberikan penglihatan apa-apa.
Yang dapat memberikan penglihatan
adalah: mata terbuka yang telah diberi syarat cahaya, dan pikiran yang
menanggapi!
93. Bapa:
Baik, Ananda, engkau telah meyatakan,
bahwa yang memberikan penglihatan itu adalah mata terbuka yang telah diberi
syarat sahaya, dan pikiran menanggapi.
Jadi, karena mata terbuka, dalam
keadaan ada cahaya, dan pikiranmu menanggapi benda-benda, obyek-obyek, dan
orang-orang itu lalu terlihat. Nah, jikalau memang benar, Ananda, bahwa yang
memberikan penglihatan itu adalah mata terbuka, yang diberi syarat adanya
cahaya,dan pikiran menanggapi, maka sekarang coba pejamkan matamu! Apakah yang
kau lihat, Ananda?
94. Ananda:
Aku tidak dapat melihat apa-apa,
kecuali gelap gulita yang hitam kelam
itu, Bapa!
95. Bapa:
Jadi, Ananda, didalam mata terpejam,
dan disitu ada cahaya, meskipun benda-benda, obyek-obyek, dan orang-orang tidak
dapat terlihat, namun gelap gulita ang hitam kelam itu masih dapat terlihat
juga, bukan?
96. Ananda:
Benar, Bapa, gelap gulita yang hitam
kelam itu dapat terlihat juga, meskipun mata dipejamkan, dan disitu ada cahaya.
97. Bapa:
Kalau
demikian halnya, Ananda, maka apakah sebetulnya yang memberikan itu? Mata kah?
Cahaya kah? Atau pikiran menanggapi kah?
98. Ananda:
Dari
hasil penelitian itu tadi, Bapa, maka telah ternyata, bahwa yang memberikan
penglihatan itu bukanlah mata, dan juga bukan cahaya, melainkan yang memberikan
penglihatan itu adalah pikiranku yang menanggapi itu!
99. Bapa:
Baik! Engkau telah menyatakan, bahwa
yang memberikan penglihatan itu adalah pikiranmu yang menanggapi itu.
Nah, jikalau memang benar, Ananda,
bahwa yang memberikan penglihatan itu adalah pikiramu yang menanggapi itu, maka
sekarang aku hendak bertanya kepadamu!
Tahukah
engkau, Ananda, dimanakah gerangan tempat beradanya pikiranmu yang menanggapi,
yang dapat memberikan penglihatan itu?
100. Ananda:
Bapa, kepribadianku ini terdiri dari
tubuh dan pikiran, tubuhku dan pikiranku selalu bekerja sama dalam keselarasan,
dan tak dapat dipisahkan yang satu dari yang lain, karena faktanya, apa yang
dirasakan oleh tubuhku, itulah yang di tanggapi oleh pikiranku. Atau
sebaliknya, apa yang di tanggapi oleh pikiranku, itulah yang dirasakan oleh tubuhku.
Oleh karena demikian, Bapa, maka
pertanyaan tentang dimanakah tempat beradanya pikiranku yang menanggapi itu,
dengan jelas dapat dijawab, bahwa pikiranku yang menanggapi itu berada
bersama-sama dengan tubuhku, dan tidak bisa lain!
101. Bapa:
Baik, Ananda engkau telah menyatakan,
bahwa pikiran-mu yang menanggapi itu berada bersama-sama dengan tubuhmu, karena
tubuhmu dan pikiranmu itu selalu bekerja sama dalam keselarasan, dan tidak
dapat dipisahkan yang satu dari yang lain.
Ananda, apakah yang kaumaksudkan
dengan ”bersama-sama” dengan tubuh itu? Berada dalam salah satu anggota
tubuhkkah? Atau mungkin mungkin meliputi seluruh tubuhkah?
102. Ananda:
Pikiranku yang menanggapi, dan yang
memberikan penglihatan itu berada diotak didalam tubuhku, Bapa!
103. Bapa:
Jikalau benar, Ananda, bahwa
pikiranmu yang menanggapi, dan yang memberikan penglihatan itu berada di otak
didalam tubuhmu, maka dengan demikian tentunya pikiramu itu dapat melihat apa
yang berada didalam tubuhmu.
Isi perutmu, misalnya! Atau mungkin
jantungmu! Bagaimana, Ananda, dapatkan pikiranmu itu melihat isi perutmu atau jantungmu?
104. Ananda:
Faktanya tidak demikian, Bapa!
Pikiranku tidak dapat melihat isi
perutku ataupun jantungku yang berada didalam tubuhku.
105. Bapa:
Kalau begitu Ananda, maka jelaslah,
bahwa pikiramu itu tidak berada di otak, didalam tubuhmu!
106. Ananda:
O, mungkin pikiranku yang menanggapi
itu berada meliputi seluruh tubuhku, Bapa!
107. Bapa:
Jikalau benar, Ananda, bahwa
pikiranmu yang menanggapi itu berada meliputi seluruh tubuhmu, maka seandainya
aku memukul kepalamu, niscaya kaki mu pun akan merasakan perasaan sakit!
Dan lagi, seandainya benar, bahwa
pikiranmu yang menanggapi itu berada meliputi seluruh tubuhmu, maka jikalau aku
memukul salah satu anggota tubuhmu, seluruh tubuhmu akan merasakan perasaan
sakit, dan engkau tidak akan tahu bagian manakah dari tubuhmu yang aku pukul
itu. Bagaimana, Ananda, apakah memang demikian itu faktanya?
108. Ananda:
Tidak, Bapa, faktanya adalah tidak
demikian!
Kalau begitu, jelaslah, bahwa
pikiranku yang menanggapi itu tidak berada meliputi tubuhku.
Atau mungkin pikiraku yang menanggapi
itu berada ”diantara” luar dan dalam daripada tubuhku, Bapa!
109. Bapa:
Baiklah! Jikalau seandainya benar,
Ananda, bahwa pikiramu yang menanggapi dan dapat memberikan penglihatan itu
berada ”diantara” luar dan dalam daripada tubuhmu, maka aku hendak bertanya
kepadamu!
Kemanakah menghadapnya pikiranmu itu?
Kearah luar tubuhkah, atau kearah dalam tubuh kah?
Jikalau pikiramu itu menghadap kearah
luar tubuhmu, maka pikiranmu itu tidak akan bisa melihat kaki ataupun tanganmu
sendiri. Dan jikalau pikiranmu itu menghadap kearah dalam tubuhmu, maka pikiranmu
itu akan dapat melihat apaapa yang berada didalam tubuhmu sendiri itu.
Apakah memang demikian itu faktanya,
Ananda?
110. Ananda:
Tidak, Bapa.
Tetapi, Bapa, yang aku maksudkan
dengan ”diantara” luar dan dalam daripada tubuhku, itu bukanlah didalam arti
seperti itu.
Yang aku maksudkan adalah, bahwa
pikiranku yang menanggapi itu berada pada mata, dimana mata itu berada
”diantara” luar dan dalam daripada tubuhku.
111. Bapa:
Baiklah! Jikalau benar, Ananda, bahwa
pikiranmu yang menanggapi itu berada pada matamu, dan yang hal itu akan berarti
berada ”diantara” luar dan dalam daripada tubuhmu, maka sekarang aku bertanya
kepadamu, Ananda! Jikalau seandainya aku mencubit pahamu, Ananda, maka tentunya
pahamu tidak akan merasakan sakit apa-apa, sebab pikiramu yang menanggapi itu
berada pada mata!
Apakah memang begitu faktanya,
Ananda?
112. Ananda:
Tidak, Bapa, faktanya tidaklah
demikian!
Kalau begitu, Bapa, maka ternyata,
bahwa pikiranku yang menaggapi itu tidaklah berada pada mata, dan tidak berada
”diantara” luar dan dalam daripada tubuhku.
113. Bapa:
Ananda, mungkikah pikiramu yang
menanggapi, dan yang dapat memberikan penglihatan itu berada di luar tubuhmu?
114. Ananda:
Tidak mungkin, Bapa, pikiranku yang
menanggapi itu tidak mungkin berada diluar tubuhku, sebab diantara tubuhku dan
pikiranku terdapat kerja sama yang selaras, dan tak terpisahkan satu dengan
yang lain. Dan lagi, jikalau pikiranku itu berada diluar tubuhku, niscaya
tubuhku tidak akan dapat merasakan perasaan apa-apa lagi.
115. Bapa:
Bagus! Lalu, mungkinkah pikiranmu itu
berada meliputi seluruh alam semesta yang tak terbatas ini?
116. Ananda:
Itupun tidak mungkin, Bapa, pikiranku
tidak mungkin berasa meliputi seluruh alam semesta ini.
Sebab, jikalau seandainya pikiranku
yang menanggapi itu berada meliputi seluruh alam semesta ini, maka tentunya
tubuhku akan menjadi sebesar alam semesta yang tak terbatas ini juga.
Padahal faktanya, tubuhku ini
besarnya terbatas!
117. Bapa:
Ananda, didalam usahamu untuk
mengetahui akan asal mulanya yang memberikan penglihatan, maka engkau telah
menemukan, bahwa yang memberikan penglihatan itu bukanlah mata, melainkan yang
memberikan penglihatan itu adalah pikiranmu
yang menanggapi.
Jadi, dari apa yang sudah dapat kau
temukan itu ternyata, bahwa yang memberikan penglihatan dan tanggapan itu
adalah pikiranmu.
Apakah bukan begitu, Ananda?
118. Ananda:
Benar, Bapa, yang memberikan
penglihatan dan tanggapan itu adalah pikiranku!
Jadi, dalam hubungannya dengan
timbulnya kesusahan, maka lalu dapat dinyatakan, bahwa oleh sebab pikiranku
melihat, dan pikiranku menanggapi, maka aku lalu mengalami perasaan susah.
119. Bapa:
Ananda, engkau talah menyatakan,
bahwa oleh sebab pikiranmu melihat, dan pikiranmu menanggapi, maka engkau lalu
mengalami perasaan susah. Sekarang aku hendak bertanya kepadamu, Ananda!
Tahukah engkau akan apa atau siapakah
”engkau sendiri” yang dapat mengalami perasaan susah itu?
Coba terangkan jawabmu!
120. Ananda
Bapa, jikalau misalnya Bapa
mengajukan sesuatu pertanyaan kepadaku, maka pertanyaan Bapa itu baru aku
jawab, setelah menanggapi pertanyaan Bapa itu.
Aku menanggapi pertanyaan Bapa itu
dengan mengunakan pikiranku, dan kemudian pikiranku menanggapi.
Pikiranku lalu bekerja memikirkan
pertanyaan Bapa itu dengan mengunakan alat-alat pertimbangan, untuk kemudian
pertanyaan Bapa itu aku jawab.
Proses ini menunjukkan, bahwa ”aku
sendiri” dan ”pikiranku” itu adalah satu dan sama, tidak ada bedanya.
Aku sendiri (myself) adalah
pikiranku, Bapa, tidak bisa lain!
121. Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan,
bahwa ”engkau sendiri” itu adalah ”pikiranmu”.
Baiklah! Maka sekarang dengarkan, aku
hendak bertanya kepadamu! Ananda, jikalau engkau berbicara perihal ”pikiranmu”,
maka bukankah hal itu menunjukkan sangat jelas, bahwa ”pikiranmu” itu bukan ”engkau
sendiri”, dan hanya merupakan obyek yang berada disamping atau diluar ”engkau sendiri”?
Seperti halnya jikalau engkau
berbicara perihal ”ayahmu” atau ”ibumu”, maka jelas sekali, bahwa ”ayahmu” atau
”ibumu” itu bukanlah ”engkau sendiri”. Jadi, Ananda, pernyataan ”aku sendiri”
adalah ”pikiranku”, itu adalah suatu pernyataan yang tidak dapat diterima oleh
akal sehat!
122. Ananda:
Lalu, Bapa, apa lagi yang harus
dianggap sebagai ”aku sendiri” itu, kalau bukan ”pikiranku” itu?
”Pikiranku” adalah satu-satunya
milikku yang dapat memberikan penglihatan dan tanggapan.
Dan jikalau ” aku sendiri” ini bukan
”pikiranku” itu, maka apa lagi yang harus tertinggal, karena ” aku sendiri”
lalu tidak bisa melihat dan menanggapi apa-apa!
123. Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan,
bahwa ”pikiranmu” itu adalah satu-satunya milikmu yang dapat memberikan
penglihatan dan tanggapan!
Mengapa engkau harus mengakui
”pikiranmu” itu sebagai satu-satunya milikmu yang dapat memberikan penglihatan
dan tanggapan, Ananda, padahal engkau sendiri tidak mengetahui dimanakah
beradanya pikiranmu itu?
Apakah
manfaatnya mengaku mempunyai milik, tetapi tidak mengetahui akan apa,
bagaimana, dan dimana beradanya milik itu?
124. Ananda:
Bapa, sekarang aku mengaku bodoh, dan
mengaku dosa (salah)! Aku mengaku bodoh, karena aku tidak mengetahui akan apa
atau siapakah sebetulnya ”aku sendiri” ini! Aku mengaku bodoh, karena aku
mengaku memiliki ”pikiran” yang dapat memberikan penglihatan dan tanggapan,
namun aku tidak mengetahui akan apa, bagaimana, dan dimanakah beradanya ”pikiranku”
itu!
Bapa, aku mengaku menderita susah,
tanpa mengetahui akan siapakah ”aku sendiri” yang menderita susah itu, dan
tanpa mengetahui akan apa, bagaimana, dan di manakah sumber asal mulanya
kesusahan itu.
Betapa bodohnya aku ini, karena
ketidaktahuanku sendiri, Bapa! Aku mengaku dosa (salah), karena kebodohan dan
ketidaktahuanku sendiri. Sebab, kebodohan dan ketidaktahuan ini, Bapa, tidak lain
hanya akan menimbulkan kesalahan-kesalahan, dan kekeliruan-kekeliruan belaka! Celakalah
aku ini, karena kebodohan dan kesalahanku sendiri! Tolonglah, Bapa, tunjukkan
kepadaku akan jalan keluarnya!.
2. KENYATAAN DAN
BUKAN KENYATAAN
125. Bapa:
Baik, baik, Ananda, Baik!
Memang
benar katamu itu, Ananda, karena kebodohan dan ketidaktahuan, maka disitu hanya
akan timbul kesalahan-kesalahan, dan kekeliruan-kekeliruan belaka.
Ananda, hal semacam itu bukan hanya
terjadi pada dirimu saja, melainkan juga terjadi pada kebanyakan manusia yang
hidup di dunia benda ini. Banyak manusia didunia ini yang mengaku dirinya
bijak, berpengetahuan, pandai, dan terpelajar, namun mereka tidak menyadari,
bahwa mereka itu sebetulnya adalah orang-orang bodoh, tidak berpengetahuan, dan
tidak sadar. Dikatakan tidak sadar, karena mereka tidak kenal akan hakekat
dirinya; dan dikatakan bodoh dan tidak berpengetahuan, karena mereka tidak
mengerti dan tidak mengetahui akan apa yang mereka lihat dan apa yang mereka
tanggapi. Tetapi, Ananda, engkau tidak perlu berkecil hati, dan tidak perlu menyusahi
atas ketidaktahuan akan kesalahan-kesalahanmu yang terjadi pada masa yang lalu.
Lupakanlah itu semua! Dan sekarang,
pusatkanlah perhatianmu, dengarkan baik-baik akan apa yang akan kukatakan ini,
karena aku hendak bertanya lagi kepadamu.
Ananda, dikala matamu kau pejamkan,
apakah yang kau lihat?
126. Ananda:
Dikala mataku kupejamkan, Bapa, maka
aku bisa melihat juga, yaitu melihat gelap yang hitam kelam.
127. Bapa:
Ananda, didalam keadaan mata terpejam,
engkau melihat ”gelap” yang warnanya ”hitam”.
”Gelap”, itu bukan benda; demikian
pula halnya dengan warna ”hitam”, itupun bukan benda.
Apa
yang kaunamakan sebagai ”gelap”, dan apa yang kaunamakan sebagai ”hitam”, itu
semua sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali sebagai gagasan (mind conception) yang tergambar atau
terbayang didalam pikiran, dan yang kodratnya adalah maya atau semu, bagaikan
perwujudan yang terlihat dalam mimpi.
Gagasan, itu timbul dari pikiran itu
sendiri, dan gagasan itu tidak dapat dipegang ataupun diraba, namun terlihat
oleh pikiran itu sendiri.
Nah,
sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda!
Melihat
sesuatu gagasan, Ananda, apakah itu dapat dikatakan sebagai melihat kenyataan,
atau melihat gambaran khayal?
128. Ananda:
Melihat
sesuatu gagasan, Bapa, itu tidak dapat dikatakan sebagai melihat kenyataan,
melainkan melihat gambaran khayal.
129. Bapa:
Bagus sekali, Ananda! Melihat suatu
gagasan, itu adalah bukan melihat kenyataan, melainkan melihat gambaran khayal.
Gagasan,
Ananda, sebagai gambaran khayal, kodratnya adalah maya, semu, bukan kenyataan,
dan palsu (unreal).
Oleh karena itu lalu dapat dikatakan,
bahwa gagasan itu berkodrat khayalan palsu.
Melihat
gagasan, atau melihat khayalan palsu, itu bukanlah melihat kenyataan, melainkan
berkhayal.
Ananda,
kebayakan manusia yang hidup didunia benda ini menyatakan, bahwa ”gelap” dan
”hitam” itu adalah kenyataan yang sungguh-sungguh, dan berada diluar pikiran.
Mereka
tidak mengenali, dan tidak menyadari dengan terang, bahwa ”gelap” dan ”hitam”
itu sebetulnya tidak lain kecuali sebagai perwujudan gambar pikiran, dan timbul
dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. Jadi,
jelaskah disini, Ananda, bahwa ”penglihatan” dan ”tanggapan” itu adalah berasal
mula dan bersumber dari pikiran itu sendiri.
Tetapi,
Ananda, dimanakah gerangan beradanya pikiran itu?
130. Ananda:
Bapa, justru pertanyaan tentang
dimanakah beradanya pikiran, itulah suatu pertanyaan yang sampai saat ini belum
aku temukan jawabannya! Sebab, semua tempat sudah aku selidiki, namun
kesemuanya itu bukanlah tempat dimana pikiran itu berada.
Dari hasil penelitian yang cermat
dimuka tadi, maka telah ternyata, bahwa pikiran itu bukan berada didalam tubuh,
bukan berada di luar tubuh, bukan berada pada sebagian daripada tubuh (diotak
ataupun di mata), bukan berada meliputi seluruh tubuh, dan juga bukan berada
meliputi seluruh alam semesta. Pendek
kata, semua tempat bukanlah tempat beradanya pikiran !
131. Bapa:
Ananda, jikalau telah ternyata, bahwa
semua tempat tidak dapat dinyatakan sebagai tempat beradanya pikiran, lalu apa
yang hendak kau nyatakan tentang tempat beradanya pikiran itu?
Pikiran
itu mengambil tempatkah, atau pikiran itu tidak mengambil tempatkah?
132. Ananda:
Oleh karena semua tempat tidak satu
pun yang dapat dinyatakan sebagai tempat beradanya pikiran, Bapa, maka dengan
akal sehat sudah dapat dipastikan, bahwa pikiran
itu tidak mengambil tempat.
133. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Pikiran
itu tidak mengambil tempat, dan tidak membutuhkan tempat. Nah, sekarang
bagaimanakah kiranya pendapatmu, Ananda, apakah pikiran yang tidak mengambil
tempat itu sesuatu kenyataan ataukah bukan kenyataan?
134. Ananda:
Tentu saja pikiran itu bukan suatu
kenyataan, Bapa! Pikiran itu tidak dapat dilihat, tidak dapat diraba, dan tidak
mengambil tempat; bagaimana bisa dianggap sebagai kenyataan?
Bukankah begitu, Bapa?
135. Bapa:
Ananda,
engkau telah menyatakan, bahwa pikiran itu bukan suatu kenyataan, karena tidak
dapat dilihat, tidak dapat diraba, dan tidak mengambil tempat.
Jikalau
benar, Ananda, bahwa pikiran itu bukan kenyataan, lalu bagaimanakah mungkin
pikiran itu dapat memberikan penglihatan? Bukankah penglihatan itu dapat kau
sadari sendiri kebenarannya? Masakah bukan kenyataan bisa memberikan kenyataan
penglihatan !?
136. Ananda:
O, ya, benar juga, Bapa!
Pikiran adalah kenyataan, karena
pikiran itu dapat memberikan kenyataan penglihatan yang dapat aku sadari
sendiri kebenarannya.
137. Bapa:
Nah,
Ananda, sekarang sudah cukup jelas, bahwa pikiran itu adalah kenyataan yang
tidak mengambil tempat, namun bisa memberikan kenyataan penglihatan.
Dan, kalau demikian halnya, Ananda,
maka aku sekarang hendak bertanya kepadamu!
Kenyataan penglihatan itu mengambil
tempat ataukah tidak mengambil tempat, Ananda?
138. Ananda:
Kenyataan
penglihatan itu berasal mula dan bersumber dari kenyataan pikiran yang tidak
mengambil tempat. Dan oleh karena kenyataan pikiran itu tidak mengambil tempat,
Bapa, maka kenyataan penglihatan itupun juga tidak mengambil tempat.
139. Bapa:
Bagus, Ananda, bagus!
Pikiran,
itu adalah kenyataan yang tidak mengambil tempat, dan demikian juga penglihatanm
itupun adalah kenyataan yang tidak mengambil tempat. Ananda, bukankah kenyataan
ini menunjukan, bahwa ”pikiran” itu tidak lain adalah ”penglihatan” itu
sendiri?
140. Ananda:
Benar, Bapa, pikiran, itu adalah
penglihatan itu sendiri! Pikiran dan penglihatan itu adalah kenyataan yang
satu, dan tidak mengambil tempat.
141. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Pikiran dan penglihatan itu adalah
kenyataan yang satu, dan yang tidak mengambil tempat.
Dan oleh karena Pikiran dan
Penglihatan itu adalah Kenyataan yang satu, dan sama, maka barangkali tidak ada
salahnya, jikalau Pikiran dan Penglihatan itu aku sebut dengan satu sebutan
saja, yaitu PIKIRAN MELIHAT.
Nah,
sekarang aku hendak bertanya lagi kepadamu, Ananda! Jikalau pikiran, atau
penglihatan, atau Pikiran Melihat itu adalah Kenyataan, sedangkan Kenyataan itu
tidak mengambil tempat, lalu apakah yang dapat kau katakan tentang benda-benda
dan orang-orang yang mengambil tempat itu, Ananda? Apakah benda-benda dan orang-orang
yang mengambil tempat itu harus kaunyatakan sebagai Kenyataan ataukah sebagai
Bukan Kenyataan?
142. Ananda:
Jikalau ternyata sudah jelas, bahwa
kenyataan itu tidak mengambil tempat, Bapa, maka sebagai konsekwensinya, segala
hal yang mengambil tempat itu, seperti halnya dengan benda-benda dan
orang-orang, seharusnya dinyatakan sebagai Bukan Kenyataan.
Tetapi, Bapa, bagaimanakah bisa jadi,
bahwa segala hal yang mengambil tempat itu harus dinyatakan sebagai bukan
kenyataan?
Padahal, benda-benda dan orang-orang
yang mengambil tempat itu memang sungguh-sungguh ada, berwujud, dapat dilihat,
dan dapat diraba! Rasanya hal ini susah dapat dimengerti!
Bagaimanakah jelasnya, Bapa?
143. Bapa
Benar. Ananda, segala hal yang
mengambil tempat itu memang benar ada, berwujud, dapat dilihat, dan dapat
diraba.
Itu benar, benar sekali, dan tidak
salah!
Tetapi, itu semua harus digolongkan
sebagai bukan Kenyataan, Ananda! Nah, sekarang dengarkan, karena aku akan
membuat suatu perumpamaan, dan kemudian bertanya kepadamu!
Seandainya, Ananda, engkau semalam
tidur, dan bermimpi digigit macan, dan merasa kesakitan.
Didalam keadaan tidur dan bermimpi
itu, Ananda, apakah engkau betul-betul melihat ”adanya” macan, dan betul-betul
merasakan perasaan sakit?
144. Ananda:
Tentu saja, Bapa, didalam keadaan
tidur, dan bermimpi, aku betul-betul melihat ”adanya” macan itu, dan aku
betul-betul mengalami sakit itu.
145. Bapa:
Tetapi, Ananda, sewaktu engkau
terbangun, dan sudah bangkit dari tidurmu, apakah macan tadi itu seekor macan
yang sungguh-sungguh ataukah bukan sungguh-sungguh?
146. Ananda:
Sewaktu aku terbangun, dan sudah
bangkit dari tidurku, Bapa, maka ternyata, bahwa macan tadi bukanlah seekor
macan yang sungguh-sungguh, melainkan macan khayal atau macan palsu!
147. Bapa:
Baik! Nah, sekarang, Ananda, didalam
keadaan bangun dan bangkit dari tidur, apakah macan khayal itu tadi masih dapat
dilihat kembali didalam ingatan pikiranmu? Dan apakah kesan perasaan sakit itu
masih dapat dimunculkan kembali didalam ingatan pikiranmu?
148. Ananda:
Masih dapat, Bapa, didalam keadaan
bangun dan bangkit dari tidur bermimpi, maka macan khayal itu masih dapat
dilihat kembali didalam ingatan pikiranku; demikian pula kesan perasaan sakit
itu masih dapat dimunculkan kembali didalam ingatan pikiranku.
149. Bapa:
Ananda, didalam keadaan tidak
bermimpi, apakah engkau pada saat itu merasa sadar?
150. Ananda:
Pada saat didalam keadaan tidur
bermimpi, Bapa, maka didalam mimpi itu aku merasa betul-betul sadar!
151. Bapa:
Lalu, apakah yang dapat kaukatakan
setelah engkau bangun dan bangkit dari tidurmu, Ananda? Apakah didalam keadaan
tidur bermimpi itu engkau betul-betul sadar atau tidak sadar?
Coba terangkan jawabanmu!
152. Ananda:
Memang,
Bapa pada saat sedang dalam keadaan tidur bermimpi aku merasa betul-betul
sadar.
Tetapi,
begitu aku bangun, dan bangkit dari tidurku, maka tahulah aku, bahwa didalam
keadaan tidur itu aku sama sekali tidak sadar.
Dikatakan
tidak sadar, karena apa yang terlihat seolah-olah sebagai kenyataan didalam
mimpi, ternyata bukan kenyataan apa-apa, kecuali gambaran khayal belaka!
153. Bapa:
Ananda,
kebanyakan manusia yang hidup didalam dunia benda ini menyatakan dirinya
sebagai sadar; padahal, sebetulnya mereka itu tidak sadar. Mereka dalam keadaan bagaikan mimpi!
Dikatakan
tidak sadar, karena mereka tidak mengenali akan hakekat dirinya. Dan lagi, mereka tidak mengenali akan hakekat
benda-benda dan orang-orang yang mereka lihat itu.
Mereka
menyatakan, bahwa benda-benda dan orang-orang yang mengambil bentuk, rupa, dan
tempat itu sebagai banyaknya dan macamnya kenyataan-kenyataan yang
sungguh-sungguh, dan berada di luar pikiran.
Padahal,
sebetulnya benda-benda dan orang-orang yang mereka lihat sebagai mengambil
tempat itu adalah bukan Kenyataan apa-apa, kecuali
perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.
Pikiran-Melihat, itulah Kenyataan;
dan kenyataan itu tidak mengambil tempat. Bagaimana, Ananda, cukup jelaskah
sekarang, mengapa segala hal yang mengambil tempat itu harus dinyatakan sebagai
bukan Kenyataan?
154. Ananda:
Kiranya cukup jelas, Bapa!
Jadi,
pikiran, atau penglihatan, atau Pikiran-Melihat, itulah Kenyataan; dan Kenyataan
itu tidak mengambil tempat. Adapun segala hal yang mengambil tempat itu, sebetulnya
tidak lain hanyalah gagasan yang berkodrat khayalan palsu, dan adalah
perwujudan dan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta
ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.
155. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Nah, sekarang aku bertanya kepadamu,
Ananda!
Apakah yang dapat kau katakan tentang segala hal yang tampak sebagai
ada, berwujud, dan mengambil tempat itu, Ananda?
Apakah mereka itu terlihat sebagai kenyataan ataukah mereka itu dikhayalkan sebagai kenyataan?
156. Ananda:
Oleh karena segala hal yang tampak
sebagai ada, berwujud, dan mengambil tempat itu tidak lain hanyalah berupa
gagasan yang berkodrat khayalan-palsu, dan hanya merupakan perwujudan
gambar-pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri, Bapa, maka segala hal itu
sebetulnya bukannya terlihat sebagai kenyataan, melainkan terlihat dalam
khayalan atau dikhayalkan.
157. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Nah,
sekarang, Ananda, bagaimanakah pendapatmu mengenai Kenyataan itu? Apakah
Kenyatakan itu terlihat, ataukah tidak terlihat?
158. Ananda:
Bapa, sekarang sudah cukup jelas, bahwa
segala yang tampak sebagai ada, berwujud, dan mengambil tempat itu sebetulnya
bukan-kenyataan, kecuali perwujudan gambar-pikiran, yang timbul dari pikiran,
dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. Sedangkan Kenyataan yang
sesungguhnya, itu adalah pikiran-melihat, atau Pikiran, atau penglihatan itu
sendiri.
Tetapi, Bapa, sampai saat ini aku
masih belum dapat mengenali akan apa atau siapakah sebetulnya aku sendiri ini,
atau dengan lain perkataan, aku belum dapat mengenal akan hakekat diriku!
Lalu apakah hubungannya diantara aku
sendiri ini dengan Penglihatan itu, Bapa?
3. HAKEKAT ”AKU” DAN
KENYATAAN ESA
161. Bapa:
Baiklah, Ananda, tetapi hendaklah
engkau bersabar dulu! Sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, maka aku masih
hendak mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu.
Ananda, jikalau sudah jelas bagimu,
bahwa Kenyataan itu tidak mengambil tempat, maka lalu bagaimanakah pendapatmu
tentang Kenyataan itu, Ananda? Apakah kenyataan tidak mengambil tempat itu
mempunyai zat ataukah tidak mempunyai zat (substance)?
162. Ananda:
Sesuatu yang mempunyai zat, Bapa, itu
pasti akan mengambil tempat. Dan oleh karena Pikiran Melihat itu adalah
kenyataan yang tidak mengambil tempat, maka dapat dipastikan, bahwa Pikiran
Melihat itu tidak mempunyai zat.
163. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Pikiran Melihat, sebagai kenyataan
yang tidak mengambil tempat. Itu tidak mempunyai zat. Artinya, Pikiran Melihat
itu hampa zat. Nah, jikalau Pikiran Melihat itu hampa zat, Ananda, apakah
Pikiran Melihat itu mempunyai bentuk dan rupa?
164. Ananda:
Segala sesuatu yang mempunyai bentuk
dan rupa, Bapa, maka pastilah ia mempunyai zat. Dan oleh karena Pikiran Melihat
itu hampa zat, maka dapat dipastikan, bahwa Pikiran Melihat itu hampa bentuk
dan hampa rupa.
165. Bapa:
Nah, sekarang,, Ananda, Pikiran
Melihat yang hampa bentuk, dan hampa rupa itu, apakah ia itu terlahir ataukah
tidak terlahirkan, Ananda?
166. Ananda:
Segala sesuatu yang terlahir, Bapa,
maka dapat dipastikan, bahwa ia itu mempunyai bentuk dan rupa. Tetapi, karena
Pikiran Melihat itu hampa bentuk dan hampa rupa, maka tentunya Pikiran Melihat
itu adalah hampa kelahiran.
167. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Pikiran Melihat itu hampa kelahiran,
artinya: tidak melahirkan, dan juga tidak dilahirkan.
Lalu, Ananda, apakah Pikiran Melihat yang
hampa kelahiran itu bisa mengalami kematian?
168. Ananda:
Tentu saja tidak, Bapa!
Pikiran Melihat yang hampa kelahiran
itu tak akan pernah mengalami kematian. Bagaimana bisa mati, Bapa, terlahir
saja tidak!
169. Bapa:
Bagus, Ananda!
Lalu, bagaimana kiranya pendapatmu, Ananda,
apakah pikiran melihat itu berbeda-beda dan dapat dibedakan menurut ciri-ciri
perorangan.
170. Ananda:
Sudah cukup jelas, Bapa, bahwa
pikiran melihat itu adalah hampa zat, hampa bentuk, dan hampa rupa. Karena
demikian, maka jelas pula, bahwa pikiran melihat itu bukan perorangan (non
personal) yang berbeda-beda, dan tidak dapat dibeda-bedakan menurut ciri-ciri
perorangan.
171. Bapa:
Tepat sekali, ananda!
Pikiran melihat, itu bukan perorangan
yang berbeda-beda, dan tidak dapat dibeda-bedakan menurut ciri-ciri perorangan.
Singkatnya, pikiran melihat itu hampa perorangan, hampa pembedaan, hampa
pencirian.
Nah, didalam hubungannya dengan
pikiran melihat atau penglihatan yang hampa perorangan dan hampa pembedaan itu,
ananda, apakah pikiran melihat itu dapat dinyatakan sebagai milik, memiliki,
atau dimiliki?
172. Ananda:
Tidak Bapa, pikiran melihat atau
pengelihatan itu tidak dapat dinyatakan sebagai milik, tidak dapat dinyatakan
sebagai memiliki, dan tidak juga dapat dikatakan sebagai dimiliki, sebab
pikiran melihat itu adalah hampa perorangan dan hampa pembedaan.
173. Bapa:
Nah, ananda, dari apa yang engkau
teliti dengan cermat melalui akal sehat yang telah dipuncakkan itu maka
ternyata, bahwa pikiran melihat, atau pikiran, atau pengelihatan itu adalah
hampa pembedaan. Ini artinya ialah, bahwa pikiran melihat itu adalah Kenyataan
Tunggal, atau Kenyataan Esa, yaitu kenyataan satu-satunya, yang tiada kenyataan
yang lain, kecuali yang satu-satunya itu.
Ananda, engkau sudah mengetahui,
bahwa pikiran melihat, atau pengelihatan itu bukannya dilihat, melainkan
dihayati dan disadari. Bagaimana ananda, engkau sadari dan engkau hayatikah
pengelihatan itu?
174. Ananda:
Benar Bapa, aku menyadari dan
menghayati pengelihatan itu, dan oleh karena itu aku melihat.
175. Bapa:
Bagus!
Engkau telah mengenali ananda, bahwa
pikiran melihat itu adalah satu-satunya kenyataan yang memberikan pengelihatan.
Ini berarti, bahwa pikiran melihat itu melihat.
Dan ananda, engkau telah membuktikan
sendiri, bahwa pikiran melihat, atau pengelihatan itu adalah kenyataan yang kau
hayati sendiri dan kau sadari sendiri. Ini berarti, bahwa engkau sendiri itu
melihat.
Nah, perhatikan hal ini ananda!
Pikiran melihat itu melihat, dan
engkau sendiri itu melihat! Tahukah engkau sekarang ananda, apa atau siapakah
sebetulnya engkau sendiri (your self) itu?
176. Ananda:
Aku tahu, Bapa, bahwa pikiran melihat
itu melihat, sedangkan aku sendiri ini menyadari, bahwa aku sendiri ini
melihat. Kalau demikian halnya Bapa, maka kiranya tidak dapat disangsikan lagi,
bahwasanya aku sendiri (my self) ini tidak lain adalah pikiran melihat, atau
pikiran, atau pengelihatan itu sendiri.
Bukankah begitu Bapa?
177. Bapa:
Bagus, bagus, bagus sekali ananda!
Melalui akal yang dipuncakkan, maka
engkau sekarang telah mengenali, bahwa engkau sendiri (your self) itu adalah
pikiran melihat itu sendiri, ya pikiran itu sendiri, ya pengelihatan itu
sendiri.
Dan oleh karena pikiran melihat itu
adalah Kenyataan Esa, maka tidak dapat disangsikan lagi, ananda, bahwa engkau
sendiri itu adalah Kenyataan Esa itu sendiri, yaitu engkau sendiri yang hampa
ciri-ciri perorangan, dan hampa pembedaan, dan yang disebut dengan nama: ”AKU”!
Jadi, ananda, ”AKU” itu adalah nama
dari Kenyataan Esa, dan bukannya penamaan bagi perorangan seperti misalnya
Amat, Badu, Polan dan sebagainya itu. Singkatnya, ”AKU” adalah Kenyataan Esa!
178. Ananda:
Bapa, sekarang aku sudah dapat
mengenali bahwa segala hal yang terlihat sebagai ”ada” dan ”berwujud” itu
sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang
timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.
Kalau demikian Bapa, apakah hal itu
dapat diartikan, bahwa pikiran itu adalah sumber asal mula dan pencipta
daripada dunia benda ini?
4. BENAR DAN KELIRU
179. Bapa:
Ananda, bahwa segala hal itu
sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang
timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri, itu
adalah pernyataan yang benar!
Tetapi ananda, hendaknya engkau
jangan terburu-buru mengambil kesimpulan, bahwa pikiran itu adalah menjadi
sumber asal mula dan pencipta daripada dunia benda ini, sebelum diadakan
penelitian yang cermat!
Nah, sebelum menjawab pertanyaanmu
itu, ananda, maka aku hendak mengajukan pertanyaan lebih dahulu kepadamu!
Jikalau benar, ananda, bahwa pikiran
itu adalah sumber asal mula dan pencipta daripada dunia benda yang ”ada” dan
”berwujud” ini, maka pikiran itu tentunya dapat dinyatakan sebagai ”ada”,
karena, apa yang ”ada” itu berasal daripada apa yang ”ada”. Apakah pikiran itu
dapat dinyatakan sebagai ”ada” ananda?
180. Ananda:
Pikiran, itu adalah Kenyataan yang
hampa zat, Bapa! Dan oleh karena hampa zat, maka pikiran itu bukanlah keadaan.
Dan apa yang bukan keadaan itu tidak dapat dinyatakan sebagai ”ada” atau ”tidak
ada”.
Kalau demikian halnya Bapa, maka
ternyata bahwa pikiran itu tidak dapat dinyatakan sebagai sumber asal mula dan
pencipta daripada dunia benda ini.
181. Bapa:
Bagus sekali ananda!
Pikiran, sebagai Kenyataan Esa yang
hampa zat, itu tidak dapat dinyatakan sebagai ”ada” atau ”tiada”, dan demikian
pula, pikiran itu tidak dapat dinyatakan sebagai sumber asal mula dan pencipta
daripada dunia benda ini.
182. Ananda:
Lalu hubungan apakah yang dapat
dinyatakan diantara pikiran sebagai kenyataan disatu pihak dan dunia benda
sebagai bukan kenyataan dilain pihak itu, bapa? Agaknya hal ini belum dapat aku
mengerti dengan jelas!
183. Bapa:
Baiklah ananda, coba sekarang
renungkan dalam-dalam perumpamaan yang aku buat ini dan jawablah pertanyaanku!
Jikalau seandainya, ananda, engkau
berdiri di depan sebuah cermin, maka apakah yang kau lihat, ananda?
184. Ananda:
Jikalau aku berdiri di depan sebuah
cermin, Bapa, maka aku melihat bayanganku sendiri!
185. Bapa:
Nah, sekarang aku bertanya kepadamu
ananda! Apakah yang dapat kau katakan tentang bayangan yang ada dan berwujud di
dalam cermin itu ananda? Apakah bayangan itu diciptakan atau dijadikan olehmu
ataukah bayangan itu terlihat olehmu?
186. Ananda:
Bayangan di dalam cermin itu ada dan
berwujud, bukanlah oleh sebab aku ciptakan atau aku jadikan Bapa, sebab aku
tidak pernah berusaha dan berbuat apa-apa untuk menciptakan atau menjadikannya.
Bayangan yang ada dan berwujud didalam cermin itu hanyalah terlihat semata-mata
olehku seperti demikian itu.
187. Bapa:
Bagus! Apa yang ada dan berwujud itu hanyalah
terlihat atau terbayang seperti demikian itu oleh sebab kodrat daripada cermin
itu.
Nah, seperti demikian itu pulalah
halnya, ananda, hubungan yang terdapat diantara pikiran sebagai kenyataan
disatu pihak, dan dunia benda sebagai bukan kenyataan dilain pihak.
Ananda,
pikiran itu kenyataan! Sedangkan segala hal yang ada dan berwujud itu sebetulnya
bukanlah kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari
pikiran, dan terlihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.
Singkatnya,
apa dan bagaimanapun sesuatu yang dinyatakan sebgai ada dan berwujud itu,
sebetulnya tidak lain hanyalah pikiran itu sendiri, dan tidak ada kenyataan
apapun diluar pikiran itu sendiri.
Jadi,
ananda, pikiran itu bukanlah menciptakan atau menjadikan apa yang ada dan
berwujud ini, melainkan apa yang ada dan berwujud ini tidak lain hanyalah apa
yang terlihat atau terbayang oleh pikiran itu sendiri.
Bagaimana, ananda, sudah cukup
jelaskah?
188. Ananda;
Sudah cukup jelas Bapa!
Jadi, tegasnya adalah, bahwa tidak
pernah ada apa atau siapapun yang diciptakan atau dijadikan, demikian pula
tidak pernah ada apa ataupun siapa yang menciptakan atau menjadikan. Bukankah
begitu Bapa?
189. Bapa:
Benar, ananda, benar!
Benda-benda, orang-orang, dan
objek-objek itu bukanlah ”ciptaan’ yang diciptakan atau dijadikan oleh apa atau
siapapun! Sebab, kenyataan yang sebetulnya adalah bahwa benda-benda,
orang-orang, dan objek-objek itu tidak lain adalah gambar perwujudan pikiran
yang timbul dari pikiran dan terlihat oleh pikiran itu sendiri.
Tetapi, ananda, oleh sebab ketidaktahuan
atau kebodohan manusia, maka benda-benda, orang-orang, dan objek-objek itu
dikiranya sebagai ”ciptaan” yang diciptakan oleh ”Sang Pencipta”!, dan
berbeda-beda serta dibeda-bedakan menurut banyaknya dan macamnya seolah-olah
benda-benda, orang-orang, dan objek-objek itu adalah kenyataan-kenyataan yang sungguh-sungguh,
dan berada diluar pikiran itu sendiri.
190. Ananda:
Aku menyela pertanyaan sebentar,
Bapa, karena ada suatu istilah yang belum aku mengerti maknanya dengan jelas!
Bapa telah mengatakan tentang ”ketidaktahuan
manusia”. Apa atau siapakah sebetulnya yang dimaksud dengan istilah ”manusia’
itu?
191. Bapa:
Manusia ananda, itu adalah pikiran
berpikir, yaitu si pemikir. Pikiran berpikir (thinking mind), itu adalah
pikiran yang melihat, membeda-bedakan, membanding-bandingkan, mempertimbangkan
nilai-nilai, dan memilih-milih gambar-gambar pikiran (image) yang timbul dari
pikiran itu sendiri, seolah-olah sebagai banyaknya dan macamnya
kenyataan-kenyataan yang berada diluar dari pikiran itu sendiri. Dan oleh
karena asas dasar pikiran berpikir itu adalah pembedaan-pembedaan, maka pikiran
berpikir itu dapat disebut juga sebagai pikiran membedakan (discriminating mind).
Singkatnya, ananda, manusia = si
pemikir = pikiran berpikir = pikiran membedakan. Bagaimana, cukup jelas,
ananda, apa yang dimaksud dengan sebutan ”manusia” itu?
192. Ananda:
Sudah, sudah cukup jelas, Bapa!
193. Bapa:
Baik! Sekarang aku teruskan dengan
apa yang hendak aku katakan tadi itu.
Ananda,
karena ketidaktahuan manusia, maka benda-benda, orang-orang dan objek-objek itu
dikiranya sebagai ”ciptaan” yang diciptakan oleh ”sang pencipta”. Dan kemudian
benda-benda, orang-orang, dan objek-objek itu dilihatnya sebagai berbeda-beda
dan dapat dibeda-bedakan menurut banyaknya dan macamnya, seolah-olah
benda-benda, orang-orang dan objek-objek itu adalah kenyataan-kenyataan yang
sesungguhnya, dan berada diluar pikiran itu sendiri. Ini adalah suatu
kekeliruan!
Dan kekeliruan ini timbul oleh sebab
ketidaktahuan, yaitu tidak tahu akan asas kenyataan, bahwasanya segala apa yang
ada dan berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa kecuali perwujudan
gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh
pikiran itu sendiri. Nah, jikalau demikian halnya ananda, maka aku hendak
bertanya kepadamu! Tahukah engkau mana yang harus dinyatakan sebagai k e l i r
u, dan mana pula yang harus dinyatakan sebagai b e n a r?
194. Ananda:
Tidak tahu akan asas Kenyataan, Bapa,
itu akan menyatakan kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan. Tetapi
sebaliknya, tahu akan asas kenyataan, itu akan menyatakan kebenaran.
Menyatakan kenyataan sebagai bukan
kenyataan, dan menyatakan bukan kenyataan sebagai kenyataan, itu harus
dinyatakan sebagai keliru. Tetapi, menyatakan kenyataan sebagai kenyataan, dan
menyatakan bukan kenyataan sebagai bukan kenyataan, itu harus dinyatakan
sebagai benar.
195. Bapa:
Bagus sekali, ananda!
Jadi, ”Ukuran” daripada benar atau
keliru, itu adalah terletak kepada tahu atau tidak tahunya mengenai kenyataan
yang hampa pembedaan itu. Ketidaktahuan manusia akan kenyataan yang hampa
pembedaan itu, maka manusia akan melakukan kekeliruan, seolah-olah apa yang
dibeda-bedakannya itu adalah banyaknya dan macamnya kenyataan-kenyataan. Padahal
kenyataan itu bukannya banyak dan bermacam-macam, melainkan satu, tunggal atau
Esa.
Nah, sekarang aku bertanya kepadamu,
ananda! Apakah membedakan mana yang kenyataan dan mana yang bukan kenyataan itu
harus dinyatakan sebagai keliru juga? Terangkan jawabmu!
196. Ananda
Melakukan pembedaan diantara mana
yang kenyataan, dan mana yang bukan kenyataan, Bapa, itu tidak dapat dinyatakan
sebagai keliru! Sebab, jikalau seseorang melakukan pembedaan diantara mana yang
kenyataan dan mana yang bukan kenyataan, maka hal itu akan berarti, bahwa ia
tahu mana sesungguhnya kenyataan itu, dan mana sesungguhnya bukan kenyataan
itu. Tetapi sebaliknya, jikalau seseorang tidak tahu bedanya, mana sesungguhnya
kenyataan itu, dan mana sesungguhnya bukan kenyataan itu, maka hal itu akan
berarti, bahwa ia tidak tahu kedua-duanya.
197. Bapa
Bagus sekali jawabanmu, ananda!
Melakukan pembedaan, dengan mengetahui bedanya mana yang sesungguhnya
kenyataan, dan mana yang sesungguhnya bukan kenyataan tidak dapat dinyatakan
sebagai keliru, melainkan harus dinyatakan sebagai benar. Pembedaan seperti
ini, ananda, disebut sebagai pembedaan benar!
Sebaliknya, melakukan
pembedaan-pembedaan terhadap apa yang ada dan berwujud, seolah-olah apa yang
ada dan berwujud itu adalah kenyataan-kenyataan, itu harus dinyatakan sebagai
keliru. Dan pembedaan seperti ini disebut sebagai pembedaan keliru.
198. Ananda
Dimuka telah dinyatakan, Bapa, bahwa
azas dasar pikiran berpikir adalah pembedaan, dan tidak semua pembedaan itu
adalah keliru karena ada pembedaan benar dan ada pula pembedaan keliru.
Kalau demikian itu halnya, bapa, maka
akan dapat ditarik kesimpulan, bahwa berpikir diatas dasar pembedaan benar
haruslah dinyatakan sebagai berpikir benar, sedangkan berpikir diatas dasar
pembedaan keliru haruslah dinyatakan sebagai berpikir keliru. Apakah bukan
begitu, Bapa?
199. Bapa
Benar, ananda, memang benar demikian!
Ananda,
mengerti, bahwasanya segala apa yang ada dan berwujud itu sebetulnya bukan
kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran yang timbul dari pikiran,
dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri, maka pengertian semacam
itu disebut sebagai: ”pengertian – benar”.
Diatas
landasan pengertian-benar, ananda, maka engkau akan dapat berpikir-benar; dan
sebaliknya, diatas landasan pengertian-keliru engkau akan berpikir-keliru.
Berpikir
keliru adalah berpikir dengan melakukan pembedaan-pembedaan keliru atau
pembedaan-pembedaan khayal.
Dikatakan
pembedaan khayal, karena pembedaan dilakukan datas hal-hal yang kodratnya
khayalan-palsu.
200. Ananda
Bapa, aku sudah mengerti melalui
pengertian-benar, bahwa ketidaktahuan itu telah menimbulkan
kekeliruan-kekeliruan dengan melakukan pembedaan-pembedaan khayal. Dan aku
telah mengerti, Bapa, rasanya terlalu sulit bagiku, kalau tidak hendak aku
katakan sebagai tidak mungkin, untuk tidak melakukan pembedaan-pembedaan
terhadap apa yang ada dan berwujud didalam kehidupan dunia-keadaan ini. Sudikah
Bapa menerangkan, apakah kiranya yang menjadi sebab-musababnya?
201. Bapa
Ananda, engkau telah menyatakan,
bahwa melakukan pembedaan-pembedaan khayal itu adalah keliru, dan harus segera
dibetulkan. Tetapi, engkau telah menyatakan pula, bahwa rasanya terlalu sulit
bagian untuk tidak melakukan pembedaan-pembedaan didalam dunia-keadaan ini. Untuk
menjawab pertanyaan ini, ananda, maka aku hendak bertanya lebih dulu kepadamu!
Ananda, apakah yang menjadi
makanan-baku bagimu sehari-hari?
202. Ananda
Sehari-hari aku makan ubi pohon
(singkong) sebagai makanan baku, Bapa.
203. Bapa
Sejak kapan engkau telah mulai makan
singkong sebagai makanan-baku, Ananda?
204. Ananda
Aku makan singkong sebagai makanan
baku sudah dari sejak kecil, Bapa, dari sejak masa kanak-kanak!
205. Bapa
Ananda, mengertikah engkau, bahwa
nasi itu sebetulnya lebih menyehatkan daripada singkong?
206. Ananda
Mengerti, Bapa! Aku mengerti, bahwa
nasi adalah lebih menyehatkan jikalau dibandingkan dengan singkong.
207. Bapa
Jikalau engkau sudah mengerti,
Ananda, bahwa nasi itu lebih menyehatkan daripada singkong, mengapakah engkau
tidak beralih saja dari makan singkong kepada makan nasi?
208. Ananda
Rasanya berat bagiku untuk beralih
dari makan singkong kepada makan nasi, Bapa, sebab aku sudah terlalu biasa
dengan makan singkong itu. Dan lagi, bagiku makan singkong itu terasa lebih
memberikan kenikmatan daripada makan nasi.
209. Bapa
Ananda, engkau telah menyatakan
mengerti, bahwa nasi adalah lebih menyehatkan daripada singkong. Tetapi engkau
merasa berat untuk beralih dari makan singkong kepada makan nasi, justru karena
engkau merasa telah terlalu biasa dengan makan singkong, sehingga singkong
engkau rasakan sebagai lebih memberikan kenikmatan daripada nasi.
Dari
pengalaman dan penghayatanmu itu sendiri, Ananda, engkau telah dapat mengenali,
bahwa kebiasaan itu ternyata mempunyai kekuatan
untuk mengalahkan PENGERTIAN.
Nah, seprti demikian pulalah halnya
dengan pembedaan-pembedaan itu, Ananda! Kebiasaan untuk menanggapi
pembedaan-pembedaan itu ternyata mempunyai kekuatan untuk mengalahkan
pengertianmu, bahwa pembedaan khayal itu seharusnya tidak dilakukan, ananda.
Kebiasaan itu ternyata mempunyai kekuatan yang cukup besar justru karena
kebiasaan itu engkau pupuk dan engkau pelihara terus menerus dalam jangka waktu
yang cukup lama.
Ananda, karena kebiasaan melakukan
pembedaan-pembedaan terhadap apa yang ada dan berwujud ini sebagai banyaknya
dan macamnya kenyataan-kenyataan, maka kebiasaan itu menjadi berurat dan
berakar didalam pikiran, sehingga akhirnya pikiran menjadi melekat (attached) kepada kebiasaan tanggapannya
sendiri.
210. Ananda
Bapa,
tahulah aku sekarang, bahwa kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan itu
berakar dari ketidaktahuan, pembedaan, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan
pikiran kepada khayalan palsu. Bukankah benar demikian, Bapa?
211. Bapa
Tepat
sekali, Ananda! Memang kekeliruan dan kesalahan itu timbul dari ketidaktahuan
(kebodohan), pembedaan-pembedaan khayal, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan
pikiran kepada khayalan palsu.
Ananda,
karena dosanya (kekeliruannya) sendiri, maka manusia terpaksa harus menanggung
sengsara dan menderita seperti: kesedihan, ratap tangis, kesakitan, kecelakaan,
ketuaan, kelapukan dan kematian (maut).
Karena
kekeliruannya sendiri, Ananda, maka manusia terpaksa harus mengikuti putaran
roda kelahiran dan kematian terus menerus dengan tak berdaya apa-apa, dan tetap
menanggung sengsara dan menderita selama-lamanya. Jadi, Ananda, kesengsaraan
dan penderitaan itu tidak akan dapat berakhir, jikalau dosa (kekeliruan) itu
tidak diakhiri. Dan kekeliruan itu tidak akan berakhir, selama ketidaktahuan,
pembedaan-pembedaan khayal, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan itu tidak
diakhiri. Dan, Ananda, ketidaktahuan, pembedaan-pembedaan khayal, kebiasaan
tanggapan, dan kemelakatan itu tidak akan bisa berakhir, selama belum ditembusi
dan diselami sendiri pengetahuan dan pengertian benar.
Oleh
karena itu, Ananda, untuk menghentikan kesengsaraan dan penderitaan, maka
langkah pertama yang harus di tempuh adalah mengaku dosa (keliru), dan segera
setelah itu lalu berusaha untuk menghentikan kekeliruan itu melalui pengetahuan
dan pengertian benar. Melalui pengertian benar, Ananda, engkau akan dapat mengenali,
manakah yang benar, dan manakah yang keliru itu.
212. Ananda:
Tampaknya dunia benda yang serba
gerak dan berubah ini telah banyak menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan,
karena tidak dikenali dengan cara yang benar akan apa sebetulnya dunia keadaan
ini, dan bagaimanakah sebab musabab timbulnya.
Sehubungan dengan itu, Bapa, sudikah
Bapa menerangkan dengan cara yang lebih jelas akan sebab musabab timbulnya
dunia benda ini?
5. HUBUNGAN SALING
BERGANTUNG DAN TATA SUSUNAN PIKIRAN
213. Bapa:
Sudah cukup jelas bagimu, ananda,
bahwa dunia benda ini bukanlah ”cipataan” yang di ciptakan oleh ”sang
pencipta”. Demikian pula sudah cukup jelas kiranya, bahwa dunia benda sebagai
perwujudan gambar pikiran itu bukanlah ”ciptaan” yang diciptakan oleh Pikiran, dan
juga bukan ”kejadian” yang dijadikan oleh Pikiran itu. Dunia benda ini tidak
lain kecuali perwujudan gambar pikiran yang timbul dari pikiran, dan dilihat
serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.
Nah, kalau demikian itu halnya,
ananda, maka sekarang aku hendak bertanya kepadamu! Apakah diantara Pikiran dan
perwujudannya itu ada hubungan ”sebab” dan ”akibat”, ananda?
214. Ananda:
Oleh karena segala hal itu bukan
kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran,
dan terlihat oleh pikiran itu sendiri, Bapa, maka Pikiran dan perwujudannya itu
bukanlah dua hal yang berpisah dan berbeda, melainkan pikiran dan perwujudannya
itu adalah satu dan sama, yaitu Pikiran itu sendiri.
Dan oleh karena Pikiran dan
perwujudannya itu adalah Pikiran itu sendiri, Bapa, maka diantara Pikiran dan
perwujudannya itu tidak ada hubungan ”sebab” dan ”akibat”.
215. Bapa:
Tepat, dan benar sekali jawabanmu,
ananda! Pikiran dan perwujudannya itu tidak mempunyai hubungan sebagai ”sebab”
dan ”akibat”. Nah, kalau demikian itu halnya, ananda, maka bagaimanakah
pendapatmu tentang ”sebab” dan ”akibat” itu?
Apakah ”sebab” dan ”akibat” itu
kenyataan atau bukan kenyataan, ananda? Coba terangkan jawabmu!
216. Ananda:
”Sebab” dan ”akibat”, bapa, itu
bukanlah kenyataan yang sesungguhnya daripada dua hal yang berpisah dan
berbeda, sebab disitu tidak akan pernah diketahui pada saat yang manakah
berakhirnya sesuatu ”sebab”, dan pada saat yang manakah dimulainya sesuatu
”akibat”.
Dan jikalau ”sebab” dan ”akibat” itu tampak
seolah-olah sebagai dua buah kenyataan yang berpisah dan berbeda, bapa, maka
hal itu hanyalah disebabkan oleh pembedaan-pembedaan khayal yang dilakukan oleh
pikiran terhadap perwujudannya sendiri.
217. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
”Sebab” dan ”akibat” itu bukanlah
Kenyataan, dan mereka itu timbul hanya oleh sebab pembedaan-pembedaan khayal
yang dilakukan oleh Pikiran terhadap perwujudannya sendiri.
Tegasnya,
ananda, ”sebab” dan ”akibat” itu bukanlah kenyataan apa-apa, kecuali gagasan
pikiran (mind conception) yang timbul dari pikiran itu sendiri. Ananda, oleh sebab
kemelekatan pikiran kepada kebiasaan, menanggapi pembedaan-pembedaan khayal
mengenai sebab-sebab, rupa, dan nama-nama, maka dunia keadaan ini lalu tampak
seolah-olah sebagai terdiri dari benda-benda, orang-orang, dan obyek-obyek yang
mempunyai zat sendiri (self substance)
dan kodrat sendiri (self nature).
Dikatakan sebagai mempunyai tempat, dan dikatakan sebagai mempunyai kodrat
sendiri, karena mereka itu tampak sebagai bergerak-gerak dan berubah sendiri.
218. Ananda:
Bapa, apakah yang dimaksud dengan
pembedaan khayal mengenai rupa dan nama itu?
219. Bapa:
Yang dimaksud dengan rupa, ananda,
itu adalah perwujudan gambar pikiran yang muncul melalui lima alat-alat
perasaan, yang umumnya disebut sebagai lima alat-alat penginderaan (five sense
organs), yaitu: mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit. Apa yang terlihat
melalui mata, terdengar melalui telinga, tercium melalui hidung, tercicipi
melalui lidah, dan teraba melalui kulit, itulah yang dimaksudkan dengan rupa
itu.
Banyaknya dan macamnya rupa itu,
ananda, dibeda-bedakan secara khayal oleh pikiran membedakan (discriminating
mind) dan diberikan sebutan dengan kata-kata untuk menunjukkan ciri-ciri
perorangan daripada masing-masing rupa itu.
Inilah yang dimaksud dengan
memberikan nama!
Nama-nama itu, ananda, dikhayalkan
sebgai kenyataan-kenyataan yang seolah-olah ”memiliki” rupa dan zat sendiri,
sehingga seseorang lalu berkata: ”Jikalau demikian itu namanya, maka begitu
itulah bendanya, tidak bisa lain!” Rupa dan nama, ananda, itu sebetulnya tidak
lebih daripada gagasan-gagasan pikiran (mind
conceptins) yang dibayangkan oleh pikiran sebagai banyaknya dan macamnya
perorangan (individu) yang mempunyai
kodrat sendiri.
Nama, itu timbul dari pembedaan
kata-kata: sedangkan kata-kata, itu bukan kenyataan apa-apa, kecuali
suara-suara angin tenggorokan yang kepadanya diberikan arti-arti khayal
semaunya saja.
Bagaimana, ananda, cukup jelaskan
mengenai rupa dan nama itu?
220. Ananda:
Sudah, sudah cukup jelas, Bapa!
Nah, sekarang kembali kepada soal
gerak perubahan itu tadi, bapa! Sudihkan Bapa menerangkan tentang kodrat dan
sebab musabab timbulnya gerak perubahan itu?
221. Bapa:
Ananda, dunia keadaan ini tampak
sebagai mengalami gerak perubahan terus menerus dengan tidak ada
henti-hentinya. Karena hal yang demikian itu, ananda, maka para pujangga lalu
memastikan, bahwa gerak perubahan itu timbul dari adanya sebab dan syarat, dan
yang tunduk kepada Hukum Sebab Akibat.
Spekulasi para pujangga itu timbul,
ananda, oleh sebab mereka tidak mengenali azas dasar kenyataan, bahwasanya
segala apa yang ada dan berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa,
kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat seta
ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.
Dan mereka tidak mengenali kodrat dan
makna yang sebenarnya daripada ”ada” dan ”tidak ada”, dan juga tidak mengenali
kodrat dan makna yang sebenarnya daripada ”terjadi” dan ”tidak terjadi” itu
adalah hal-hal nyata yang sebab dua, dan tunduk kepada hukum sebab akibat.
Karena tidak dapat mengenali, bahwa
soal ”ada” dan ”tidak ada”, ”terjadi” dan ”tidak terjadi” itu adalah hal-hal
khayal yang timbul dari pembedaan-pembedaan yang dilakukan oleh pikiran
terhadap perwujudannya sendiri sebagai sebab musababnya.
Ananda, oleh sebab
pembedaan-pembedaan yang dilakukan oleh pikiran membedakan mengenai sebagai
rupa dan nama itu berlangsung terus-menerus, berganti-ganti, dan tak pernah ada
henti-hentinya, maka disitu lalu timbul pengertian-pengertian perwujudan gambar
pikiran, yang sebentar muncul, dan sebentar lagi lenyap, terus menerus, dengan
tak ada henti-hentinya pula. Muncul dan lenyapnya gambar-gambar pikiran didalam
pikiran itu sendiri, ananda, yang lalu terlihat oleh pikiran sebagai gerak
perubahan daripada benda-benda, orang-orang, dan obyek-obyek itu.
Tegasnya, ananda, gerak perubahan itu
sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan (manifestasi) daripada
pembedaan-pembedaan khayal yang dilakukan oleh pikiran terhadap perwujudannya
sendiri.
222. Ananda:
Kalau demikian halnya, bapa, maka
nyatalah, bahwa benda-benda, orang-orang, dan obyek-obyek itu sebetulnya adalah
hampa kodrat sendiri. Dan merasa itu tempat sebagai bergerak dan berubah
bukanlah oleh sebab adanya sebab-sebab dan syarat-syarat yang berada diluar
pikiran, melainkan gerak perubahan itu adalah pencerminan yang menerangkan
sendiri tentang kegiatan pikiran yang melakukan pembedaan-pembedaan khayal itu.
Bukankah begitu, Bapa?
223. Bapa:
Tepat sekali katamu itu, ananda!
Benda-benda, orang-orang, dan
obyek-obyek itu adalah hampa kodrat sendiri; dan gerak perubahan itu adalah
pencerminan yang menerangkan sendiri tentang kegiatan pikiran yang melalkukan
pembedaan-pembedaan khayal.
Ananda, oleh karena kebiasaan pikiran
didalam menanggapi pembedaan-pembedaan, maka didalam pikiran itu sendiri lalu
di kentarakan dan dipetakan gambaran-gambaran yang berkodrat khayalan palsu,
dimana pikiran lalu melekat kepada khayalan paslsu itu, seolah-olah kesemuannya
itu adalah kenyataan-kenyataan rupa dan nama yang berada diluar pikiran dan
mempunyai zat sendiri dan kodrat sendiri.
Oleh sebab kemelekatan pikiran kepada
kebiasaan menanggapi pembedaan-pembedaan sebab, rupa, dan nama, ananda, maka
pikiran itu sendiri lalu membentuk suatu sistem berpikir perorangan yang sangat
rumit (complex) berlandaskan pengertian-pengertian dan pandangan serba dua yang
dinamakan: SISTEM PIKIRAN.
Sistem pikiran ini, ananda, dapat
dicirikan secara khas sebagai sarana untuk membentuk dan mempertahankan kepribadian
perorangan dan dunia keadaan sekitarnya.
Jadi jelas, ananda, bahwa dunia benda
ini ada dan berwujud bukanlah oleh sebab diciptakan atau dijadikan oleh ”Sang
Pencipta” ataupun ”Sang Pikiran”, tidak, tidak demikian! Dunia benda ini ada
dan berwujud hanyalah oleh sebab kemelekatan pikiran kepada kebiasaan
menanggapi pembedaan-pembedaan khayal.
224. Ananda:
Telah dikatakan, Bapa, bahwa pikiran
itu sendiri telah membentuk apa yang dinamakan sistim pikiran, dan dengan
sistem pikiran itu pikiran lalu membentuk dan mempertahankan kepribadian
perorangan dan dunia keadaan sekitarnya. Sudikah bapa menerangkan, apakah yang
dimaksud dengan kepribadian perorangan itu?
225. Bapa:
Ananda, oleh sebab kemelakatan
pikiran kepada khayalan palsu maka tampaknya kepribadian perorangan itu sebagai
terdiri dari 5 unsur penyusunan kepribadian, yaitu bentuk, perasaan,
penglihatan, pembedaan, dan kesadaran. Kelima usur sebetulnya hanyalah
berkodrat khayal, karena mereka itu timbul dari pembedaan-pembedaan khayal
sebagai sebab musababnya.
Unsur bentuk, Ananda, itu dalah
sesuatu yang dikhayalkan sebagai terbuat dari zat, dengan tidak peduli akan apa
dan bagaimanakah sifat zat itu, sperti padat, cair, etheris, dan api. Unsur
bentuk ini dapat dilihat, diraba, atau dirasakan adanya.
Adapun empat unsur lainya, Ananda,
itu sebenarnya tidak dapat dinyatakan sebagai unsur, sebab mereka bercampur
baur menjadi satu, dan tidak dapat dilihat dan diraba, meskipun dapat
dinyatakan adanya oleh sebab akibat-akibat yang ditimbulkannya.
Kelima unsur ini dinyatakan sebagai
unsur penyusun kepribadian, Ananda, karena suatu alasan, bahwasanya seseorang
pribadi itu mempunyai bentuk, dapat menyatakan perasaan, dapat melihat, dapat
membeda-bedakan, dan dapat menyadari perorangannya (personalitasnya).
Unsur bentuk, itu adalah unsur yang
mewakili apa yang dinamakan keadaan lahiriah seseorang. Sedangkan unsur-unsur
perasaan, penglihatan, pembedaan, dan kesadaran, itu adalah unsur yang
mewakilkan apa yang dinamakan keadaan bathiniah seseorang. Singkatnya, Ananda,
kepribadian seseorang itu lalu terdiri dari keadaan-keadaan lahiriah dan
bathiniah. Dan keadaan bathiniah yang terdiri dari unsur-unsur perasaan,
penglihatan, pembedaan, dan kesadaran inilah, Ananda, yang dinyatakan oleh
pikiran berpikir sebagai kenyataan yang dapat menyatakan diri selaku
aku-pribadi (ego).
Ananda, bagaimana pendapatmu tentang
keadaan lahiriah dan keadaan bathiniah itu? Apakah mereka itu benar-benar
merupakan kenyataan?
226. Ananda:
Apa yang dinamakan keadaan lahiriah
atau bathiniah itu sebenarnya bukan kenyataan apa-apa, Bapa, sebab mereka itu
timbul dari pembedaan-pembedaan khayal sebagai sebab musababnya. Apa yang
dinamakan sebagai keadaan lahiriah dan bathiniah itu tidak lain hanyalah
konsepsi pikiran (mind conception) yang timbul dari pikiran itu sendiri.
227. Bapa:
Bagus, Ananda, apa yang dinamakan
lahiriah dan banthiniah itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, keculai gagasan
pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri! Lalu bagaimana halnya dengan aku
pribadi (ego) itu, Ananda?
228. Ananda:
Mengenai apa yang dinamakan aku
pribadi (ego), Bapa, itupun bukan kenyataan, sebab ia timbul dari
gagasan-gagasan yang berkodrat khayal mengenai apa yang dinamakan 5 unsur-unsur
penyusun kepribadian perorangan.
229. Bapa:
Bagus!
Ananda, kepribadian perorangan, yang
seolah-olah terdiri dari 5 unsur penyusun kepribadian, dan yang kemudian di
kelompokan menjadi unsur lahiriah dan unsur bathiniah, itu adalah buah hasil
yang dibentuk dan dipertahankan oleh apa yang dinamakan tata sususnan pikiran
atau sistem pikiran itu. Dan engkau mengenali, ananda, bahwa tata susunan
pikiran atau sistem pikiran itu sendiri hanyalah timbul oleh sebab proses
berpikir perorangan yang berlandaskan pembedaan-pembedaan serba dua yang
berkodrat khayal.
Dengan singkat dapat dinyatakan,
Ananda, bahwa kepribadian perorangan dan dunia keadaan sekitarnya itu ada dan
berwujud bukan karena diciptakan atau dijadikan oleh siapa-siapa, melainkan ia
ada dan berwujud oleh sebab proses berpikir perorangan yang tersalur melalui
tata susunan pikiran atau sistem pikiran, dan yang bersumber dari ketidaktahuan,
pembedaan-pembedaan khayal, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan.
Bagaiman, ananda, sudah dapat
terjawab dengan cukup jelaskah pertanyaanmu mengenai sebab musabab timbulnya
dunia benda itu?
230. Ananda:
Cukup jelas, Bapa! Dunia benda ini
ada dan berwujud bukan sebagai ciptaan ataupun sebagai kejadian, melainkan
dunia benda ini ada dan berwujud oleh sebab proses berpikir perorangan yang
tersalur melalui tata susunan pikiran, dan yang bersumber dari ketidaktahuan,
pembedaan khayal, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan.
Bapa, dapatkah kiranya dijelaskan
dengan cara yang lebih terang mengenai proses bekerjanya tata susunan pikiran
itu?
231. Bapa:
Ananda, tata susunan pikiran itu
terdiri dari 5 alat-alat perasaan (mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit
tubuh), dan perasaan-perasaan pikiran (senses) yang mengikutinya (penglihatan,
pendengaran, pembauan, pencicipan, dan perabaan), yang kesemuanya itu di
persatukan didalam pikiran membedakan (discriminating mind), dan yang
berhubungan dengan dunia benda atau dunia luar (external world).
Tata susunan pikiran, Ananda, itu
timbul dari kegiatan bathin (mental activity) yang memisahkan pikiran dari
perwujudannya sendiri, dan yang selanjutnya mebeda-bedakan perwujudannya
sendiri itu sebagai banyaknya dan macamnya kenyataan-kenyataan rupa dan nama
yang mempunyai kodrat sendiri, dimana rupa dan nama itu dibayangkan sebagai
keadaan lahiriah.
Didalam proses bekerjanya tata
susunan pikiran, Ananda, keadaan lahiriah dan keadaan bathiniah itu merupakan
dua unsur atau dua faktor yang saling bersyarat, dan saling bergantung.
Artinya, unsur lahiriah ditentukan dan bergantung kepada unsur bathiniah, dan
sebaliknya, unsur bathiniah ditentukan dan bergantung kepada unsur lahiriah.
Pertama-tama, Ananda, oleh sebab
kodrat ketidaktahuan, maka pikiran lalu melakukan pembedaan-pembedaan terhadap
perwujudannya sendiri, sehingga dengan demikian secara serempak dan
bersama-sama lalu timbul dan terlihat ”adanya” berbagai bentuk dan rupa,
seperti halnya matahari yang timbul serempak dan bersama-sama dengan sinarnya.
Pada saat itu pula, Ananda, maka
terjadilah ”kontak” diantara alat-alat perasaan dengan dunia bentuk dan rupa,
yang lalu diikuti oleh bekerjanya perasaan-perasaan pikiran didalam menanggapi
berbagai bentuk dan rupa itu sebagai kenyataan-kenyataan dunia luar yang
seungguh-sungguh ada dan berwujud.
Perasaan-perasaan pikiran (senses)
itu lalu mengalir kedalam pikiran membedakan, dan mengadakan kerjasama dengan
cara yang paling erat didalam menimbulkan gambaran-gambaran (images) dan
daripada berbagai bentuk dan rupa itu.
Putusan atas arti dan nilai ”baik”
atau ”buruk”nya berbagai bentuk dan rupa itu, Ananda, dipegang teguh dan
dikukuhi oleh perasaan pikiran sebagai kenyataan yang memang harus begitu, dan
tidak bisa lain, dan akhirnya menjadi kebiasaan tanggapan.
Kebiasaan tanggapan itu, Ananda, lalu
disimpan dan ditimbun didalam pikiran itu sendiri sebagai banyaknya dan
macamnya benda-benda, orang-orang, obyek-obyek dengan segala arti dan nilainya
yang ”baik” ataupun yang ”buruk”.
Oleh sebab pembedaan-pembedaan khayal
berjalan terus, Ananda, maka berbagai gambaran dan gagasan-gagasan pikiran lalu
timbul dan lenyap berganti-ganti, terus-menerus, dengan tak ada henti-hentinya,
sehingga benda-benda, orang-orang, obyek-obyek, lahiriah itu lalu terlihat
sebagai bergerak-gerak dan berubah, seolah-olah mereka itu bergerak berubah
karena adanya seba-sebab dan syarat-syarat yang berada diluar pikiran itu
sendiri. Pikiran membedakan tidak menyadari dengan terang, bahwa gerak
perubahan daripada berbagai bentuk dan rupa itu sebetulnya bukan kenyataan
apa-apa, kecuali pencerminan yang menerangkan kegiatannya sendiri yang
melakukan pembedaan-pembedaan khayal itu.
Ananda, proses seperti itu berjalan
terus tak ada putus-putusnya! Hal-hal lahiriah menjadi sebab dan syarat adanya
gambaran-gambaran dan gagasan-gagasan yang berkodrat bathiniah, sedangkan
hal-hal bathiniah, oleh sebab kebiasaan tanggapan, lalu terlihat oleh pikiran sebagai
bentuk dan rupa yang berkodrat lahiriah. Dengan cara yang demikian itu, Ananda,
maka benda-benda, orang-orang, dan obyek-obyek lahiriah itu lalu tampak
seolah-olah mepunyai asal mula kejadian (genensis),
yaitu dijadikan dan diciptakan oleh sesuatu ”penyebab”, dan yang dikiranya
”penyebab” itu adalah ”Sang Pencipta”.
Ini semua, Ananda, adalah buah
pekerjaan tata susunan pikiran yang membentuk dan mempertahankan proses
berpikir perorangan. Nah, Ananda, setelah engkau mengenali, bahwa diantara
keadaan lahiriah dan bathiniah itu terdapat suatu hubungan saling bersyarat dan
saling bergantung, maka apakah hubungan semacam itu dapat kau nyatakan sebagai
hubungan ”sebab” dan ”akibat”?
Coba terangkan Jawabamu!
232. Ananda:
Bapa, diantara apa yang dinamakan keadaan
lahiriah dan keadaan bathiniah terdapat suatu hubungan saling bersyarat dan
saling bergantung. Hubungan semacam itu tentu saja tidak dapat dinyatakan
sebagai hubungan ”sebab” dan ”akibat”, karena apa yang diartikan sebagai
hubungan ”sebab” dan ”akibat”’ itu adalah khayalan tentang adanya hubungan
diantara dua kenyataan yang berpisah dan berbeda kodratnya.
Sedangkan sebetulnya, ”sebab” dan
”akibat” itu bukanlah kenyataan apa-apa, kecuali kosepsi pikiran yang timbul
dari pikiran itu sendiri.
233. Bapa:
Bagus!
Jadi, Ananda, jikalau dunia benda ini
tampak sebagai bergerak-gerak dan berubah, maka gerak perubahan itu bukanlah
merupakan hasil bekerjanya sebab akibat, tidak, tidak demikian! Gerak perubahan
itu timbul karena bekerjanya tata susunan pikiran yang melakukan
pembedaan-pembedaan khayal, dan yang tunduk kepada hukum hubungan sebab musabab
yang saling bergantung diantara hal-hal lahiriah dan bathiniah.
Dunia benda sebagai bentuk dan rupa
yang berkodrat lahiriah tergantung kepada gambaran-gambaran dan gagasan-gagasan
pikiran yang berkodrat bathiniah, dan sebaliknya, gambaran-gambaran dan
gagasan-gagasan pikiran yang berkodrat bathiniah bergantung kepada bentuk dan
rupa yang berkodrat lahiriah.
Tetapi itu semua adalah bergantung
kepada ketidaktahuan, pembedaan-pembedaan khayal, kebiasaan tanggapan, dan
kemelekatan pikiran kepada rupa dan nama.
Nah, setelah dikenali akan kebenaran
daripada Hukum Hubungan Sebab Musabab yang saling bergantung itu, Ananda, maka
apakah yang dapat kaunyatakan tentang ”perbuatan-perbuatan” itu? Apakah
”perbuatan-perbuatan” itu suatu kenyataan ataukah bukan kenyataan? Terangkan
Jawabmu!
234. Ananda:
Apa yang dinamakan ”perbuatan”, Bapa,
itu adalah gerak perubahan yang terputus-putus; sebab, jikalau tidak terjadi
pemutusan gerak perubahan, maka disitu tidak akan tampak adanya ”perbuatan”.
Adapun gerak perubahan, itu timbul
dari bekerjanya tata susunan pikiran yang tak pernah putus-putusnya didalam
melakukan pembedaan-pembedaan khayal yang bersyarat hal-hal lahiriah dan
bathiniah yang saling bergantung. Ini berarti, bahwa gerak perubahan itu
sebetulnya adalah suatu kelangsungan kegiatan yang tak pernah terputus. Dan
oleh karena demikian, Bapa, maka apa yang dinamakan ”perbuatan-perbuatan, itu
adalah bukan kenyataan!
235. Bapa:
Tepat sekali, Ananda!
Gerak perubahan, itu adalah merupakan
pencerminan dari pada kegiatan tata susunan pikiran didalam melakukan
pembedaan-pembedaan khayal. Dan oleh karena kegiatan tata susunan pikiran
didalam melakukan pembedaan-pembedaan khayal itu berlangsung terus dengan tidak
ada putus-putusnya, maka gerak perubahan itu sendiri sebagai pencerminannya,
tentunya juga tidak akan terputus-putus.
Gerak perubahan daripada dunia
keadaan ini, Ananda, itu bukanlah banyaknya dan macamnya ”perbuatan-perbuatan”.,
melainkan gerak perubahan daripada dunia keadaan ini adalah suatu kelangsungan
kegiatan, bagaikan hubungan mata rantai yang sambung menyambung menjadi satu
rangkaian yang tak pernah ada putusnya.
236. Ananda:
Bapa,
selama ini aku menyenangi dan menyusahkan apa yang seharusnya tidak perlu aku
senangi dan aku susahkan. Aku telah menyenangi dan menyusahkan sebagai rupa dan
nama dengan arti-arti dan nilai-nilai baik atau buruk, dengan tidak menyadari
secara terang, bahwa kesemuanya itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali
perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta di
tanggapi oleh pikiran itu sendiri.
237. Bapa:
Ananda, karena tidak mengenali akan
hakekat daripada rupa dan nama dengan segala arti-arti dan nilai-nilai lahiriah
yang berkodrat khayal mengenai apa yang baik dan apa yang buruk itu,
sikap-sikap, perbuatan-perbuatan, dan kata-kata. Nah, setelah engkau mengenali
akan apakah sebetulnya sikap-sikap, perbuatan-perbuatan, dan kata-kata itu,
Ananda, maka semestinya engkau tidak perlu menderita lagi.
Bukankah begitu, Ananda?
238. Ananda:
Ya, semestinya memang begitu, Bapa!
Tetapi, apakah sebetulnya penderitaan itu, Bapa?
6. PENDERITAAN DAN
KEBAHAGIAAN
239. Bapa:
Ananda, penderitaan itu adalah
khayalan palsu yang ditanggapi oleh perasaan pikiran sebagai kenyataan rupa dan
nama yang mempunyai arti dan nilai baik ataupun buruk. Singkatnya, penderitaan
itu adalah tanggapan khayal, Ananda! Lalu bagaimana pendapatmu tentang
kesenangan dan kesusahan itu, Ananda? Manakah yang tergolong sebagai
penderitaan?
240. Ananda:
Kedua-duanya, Bapa!
Baik kesenangan, maupun kesusahan,
kedua-duanya adalah tergolong sebagai penderitaan, karena kedua-duanya adalah
tanggapan khayal daripada perasaan pikiran terhadap rupa dan nama yang mempunyai
arti dan nilai baik ataupun buruk.
241. Bapa:
Benar, Ananda, baik kesenangan,
maupun kesusahan, kedua-duanya itu adalah tergolong penderitaan. Kesenangan dan
kesusahan adalah penderitaan yang hanya berbeda didalam kemendalamannya
(intensitasnya) saja. Kesenangan adalah penderitaan dengan intensitas yang
lebih ringan jikalau dibandingkan dengan kesusahan.
Sebagai contoh dalam kehidupan
sehari-hari misalnya, penghasilan Rp. 30.000,- sehari bagi abang tukang becak,
mungkin merupakan kesenangan luar biasa, namun bagi sang pengusaha besar,
penghasilan Rp. 30.000,- sehari itu mungkin merupakan kegagalan yang sangat
menderitakan.
242. Ananda:
Lalu apakah bedanya atara kesenangan
dan kebahagiaan, Bapa?
243. Bapa:
”Kesenangan” dan ”Kebahagiaan” itu
apa? Bukankah ”kesenangan” dan ”kebahagiaan” itu hanya istilah atau nama yang
berasal dari pembedaan-pembedaan kata-kata untuk memberikan ciri (tanda) dan
arti kepada sesuatu keadaan?
Menurut kebiasaan, Ananda,
kebahagiaan itu diberikan arti sama dengan kesenangan, itu boleh saja, dan tak
ada halangan apa-apa!
Tetapi, istilah ”kebahagiaan”, itu
boleh juga dipakai untuk menyatakan sesuatu arti yang berbeda daripada
kesenangan, yaitu untuk menyatakan berhentinya penderitaan. Dan berhentinya
penderitaan, itu berarti berhentinya kesenangan dan kesusahan!
244. Ananda:
Telah dikatakan, Bapa, bahwa
kebahagiaan itu adalah berhentinya penderitaan; dan berhentinya penderitaan
berarti berhentinya kesenangan dan kesusahan. Pengertian ini, Bapa, agaknya
membingungkan, dan sukar dipahami, karena jikalau kesenangan dan kesusahan itu
terhenti, bukankah itu akan berarti suatu kematian? Dan jikalau seseorang itu
sudah mati, bagaimanakah kebahagiaan itu dapat dirasakannya?
Bagaimanakah jelasnya, Bapa?
245. Bapa:
Ananda, engkau sudah mengenali, bahwa
kesenangan dan kesusahan itu adalah penderitaaan; dan penderitaan itu adalah
tanggapan khayal. Ini berarti, bahwa kesenangan dan kesusahan itupun tanggapan
khayal pula. Maksudnya, kesenangan dan kesusahan itu adalah khayalan palsu yang
di tanggapi oleh perasaan pikiran sebagai kenyataan-kenyataan rupa dan nama
yang mempunyai arti dan nilai baik ataupun buruk.
Kesenangan
dan kesusahan, Ananda, sebagai khayalan palsu, kodratnya adalah bagaikan apa
yang terlihat dalam mimpi. Dan itu bukanlah kenyataan apa-apa, kecuali gagasan
pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri. Sekarang aku bertanya kepadamu,
Ananda!
Jikalau engkau menanggapi kesenangan
dan kesusahan itu sebagai kenyataan-kenyataan yang sungguh-sungguh, Ananda,
apakah engkau didalam keadaan bangun dan sadar terang, ataukah engkau didalam
keadaan tidur bermimpi dan tidak sadar terang?
246. Ananda:
Pada saat aku menanggapi kesenangan
dan kesusahan sebagai kenyataan-kenyataan yang sungguh-sungguh, Bapa, maka pada
saat itu sebetulnya aku berada didalam keadaan tidur bermimpi dan tidak sadar
terang.
247. Bapa:
Bagus!
Nah, didalam keadaan bangun dari
tidur dan sadar terang, Ananda, apakah engkau masih perlu menyibuki kesenangan
dan kesusahan yang berkodrat impian itu?
248. Ananda:
Tentu saja tidak, Bapa! Didalam
keadaan bangun dan sadar terang aku tidak memerlukan lagi kesenangan-kesenagnan
dan kesusahan-kesusahan yang hanya ada didalam mimpi itu, Bapa.
249. Bapa:
Nah, kalau demikain itu halnya,
Ananda, maka jelaslah, bahwa didalam keadaan bangun dan bangkit dari tidur
bermimpi, dan didalam keadaan sadar terang, semua kesenangan dan kesusahan itu
terhenti. Ini berarti, bahwa kesenangan dan kesusahan itu berhenti pada saat
engkau bangkit dan sadar terang. Ananda, apakah bangkit dan sadar terang itu
suatu kematian?
250. Ananda:
Ya, ya, Bapa, sekarang aku mengerti!
Kesenangan dan kesusahan itu aku
sibuki dan aku nikmati didalam keadaan tidak sadar terang, karena aku berada
dalam keadaan tidur bermimpi. Begitu aku bangkit dan sadar terang, maka disitu
kesenangan dan kesusahan menjadi terhenti. Jadi, kesenangan dan kesusahan itu
berhenti pada saat aku bangkit dan sadar terang. Sedangkan bangkit dan sadar
terang itu bukanlah berarti kematian, karena kematian itu ada dalam keadaan
tidak sadar terang. Bukankah begitu, Bapa?
251. Bapa:
Bagus, dan benar, Ananda!
Memang, kesenangan dan kesusahan itu
terhenti didalam kebangkitan dan sadar-terang. Kebangkitan (=kiyamat), dan
sadar terang (enlightened) itulah, Ananda, yang dimaksudkan dengan kebahagiaan
itu.
Kebahagiaan itu, Ananda, tidak ada
sangkut pautnya dengan perasaan-perasaan pikiran yang berkodrat perorangan.
Artinya, kebangkitan itu tidak dapat dicapai dan dihayati oleh perorangan
dengan kesadaran ”aku-pribadi” (kesadaran-ego). Kebahagiaan adalah ”milik”
seseorang yang sadar-terang, yaitu sadar terang akan hakekat ”dirinya” sebagai
Kenyataan Esa yang hampa-zat, hampa pembedaan, hampa-sebutan, dan
hampa-perbuatan.
Singkatnya, Ananda, kebahagiaan itu
adalah terhentinya penderitaan; dan berhentinya penderitaan itu adalah sadar
terang. Menghentikan penderitaan, Ananda, itu adalah mencapai dan merealisasi
sendiri (menyelami sendiri) sadar terang itu.
Menghentikan penderitaan itu bukanlah
”berbelok” dan memasuki jalan mencari kesenangan-kesenangan rupa dan nama
dengan segala arti dan nilai-nilai ”baik” atau ”buruk” yang berkodrat
khayalan-palsu itu.
252. Ananda:
Bapa, didalam rangka usaha untuk
mencari dan merealisasi sendiri (menyelami sendiri) sadar terang itu, yaitu
merealisasi berhentinya penderitaan, maka jalan apakah yang seharusnya aku
tempuh?
Sudikah Bapa memberikan penerangan
yang sejelas-jelasnya?
253. Bapa:
Ananda, jikalau engkau mengatakan,
bahwa engkau hendak berusaha untuk menghentikan penderitaan, bukankah itu suatu
tanda yang menunjukkan bahwasanya engkau sadar dalam keadaan menderita?
Bagaimana, bukankah begitu, Ananda?
254. Ananda:
Benar, Bapa, jikalau aku menyatakan,
bahwa aku hendak berusaha menghentikan penderitaan, maka pernyataan itu
menunjukkan bahwasanya aku saat ini sadar dalam keadaan menderita.
Dan memang benar, Bapa, aku menderita
di dunia ini!
255. Bapa:
Dan sebaliknya, Ananda, jikalau
engkau hendak berusaha mencari kebahagiaan, bukankah itu suatu tanda yang
menunjukkan bahwasanya engkau belum memperoleh kebahagiaan?
Bagaimana, bukankah begitu, Ananda?
256. Ananda:
Benar, Bapa, jikalau aku menyatakan,
bahwa aku hendak berusaha mencari kebahagiaan, maka pernyataan itu menunjukkan
bahwasanya aku saat ini belum memperoleh kebahagiaan. Dan memang benar, Bapa,
aku belum memperoleh kebahagiaan, karena aku sedang menderita didunia ini!
257. Bapa:
Jadi tegasnya, Ananda, apakah engkau
menyatakan hendak menghentikan penderitaan, ataukah engkau menyatakan hendak
mencari kebahagiaan, kedua pernyataan itu hanya menunjukkan satu fakta saja,
yaitu: engkau sedang menderita didunia sekaran ini!
Ananda, penderitaan itu adalah fakta
kehidupan duniawi; yaitu fakta kehidupan yang dialami oleh semua manusia yang
hidup didalam dunia keadaan ini, tanpa kecualinya.
Meskipun hampir semua manusia dengan
mudah mengucapkan pernyataan: ”Aku berusaha menghentikan penderitaan”, atau
”Aku berusaha mencari kebahagiaan”, namun tidak semua manusia mengerti akan
makna yang sebenarnya daripada apa yang sedang mereka ucapkan itu! Kebayankan manusia
mengucapkan apa yang mereka tidak mengerti!
258. Ananda:
Telah dinyatakan, Bapa, bahwa
kebanyakan manusia mengucapkan apa yang mereka tidak mengerti. Aku kurang dapat
memahami akan apa yang dimaksudkan oleh pernyataan itu, Bapa! Bagaimana
jelasnya, Bapa?
259. Bapa:
Ananda, jikalau seseorang mengatakan:
”Aku menderita di dunia ini”, tetapi tidak mengerti akan apa atau siapakah
”aku” itu, tidak mengerti akan apakah ”dunia” itu, dan tidak mengerti akan
apakah ”penderitaan” itu, bukankah hal itu akan berarti, bahwa ia tidak
mengerti akan apa yang ia ucapkan?
Dan lagi, Ananda, jikalau seseorang
mengatakan: Aku mencari kebahagian di dunia ini”, tetapi tidak mengerti akan
apa atau diapakah ”aku” itu, tidak mengerti akan apakah ”dunia” itu, dan tidak
mengerti akan apakah ”kebahagiaan” itu, bukankah hal itu akan berarti, bahwa ia
tidak mengerti akan apa yang ia ucapkan?
260. Anada:
O, sekarang aku dapa memahami akan
apa yang dimaksud oleh pernyataan ”manusia mengucapkan apa yang mereka tidak
mengerti” itu, Bapa!
261. Bapa:
Jadi,
Ananda, jikalau engkau hendak menghentikan penderitaan didalam kehidupan dunia
ini, maka pertama-tama engkau harus mempunyai pengertian yang benar, tegas, dan
jelas tentang hal ikhwalnya tiga hal, yaitu: pertama, engkau harus mengerti
akan apa atau siapakah hakekatnya ”engkau-sendiri”, yang biasa kau sebutkan
sebagai ”aku” itu; kedua, engkau harus mengerti akan apakah hakekatnya
”dunia-keadaan”, yang biasa kausebut sebagai keadaan ”lahiriah” dan keadaan
”bathiniah” itu; dan ketiga, engkau harus mengerti akan apakah hakekatnya
”penderitaan”, yang biasa kausebutkan sebagai ”kesenangan” dan ”kesusahan” itu.
Ananda, kiranya dari hasil penelitian
dan perenungan sendiri melalui akal yang dipuncakkan, engkau sekarang telah
dapat mengerti dan mengenali akan hakekat ketiga hal tersebut itu tadi. Coba
nyatakan pengertianmu tentang ketiga hal itu, Ananda!
262. Ananda:
Pertama-tama tentang hakekat
”aku-sendiri”, yang biasanya disebutkan sebagai ”aku”, Bapa!
”AKU” adalah pikiran melihat, yaitu
pikiran itu sendiri, sebagai satu-satunya Kenyataan Esa yang hampa zat, hampa
pembedaan, hampa sebutan, hampa kelahiran, dan hampa kematian.
Yang kedua tentang ”dunia kenyataan”!
Apa yang ada dan berwujud itu, baik
yang lahiriah, maupun yang bathiniah, itu semua bukan kenyataan apa-apa,
kecuali perwujudan gambar pikiran yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta
ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. Atau dengan lain perkataan dapat
dinyatakan, bahwa segala apa yang ada dan berwujud itu sebetulnya bukan
kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan bayanganku yang timbul daripadaku, dan
terlihat olehku sendiri.
Dan yang ketiga tentang “penderitaan“!
Penderitaan, itu adalah tanggapan
khayal yang timbul dari tata susunan pikiran yang melakukan proses berpikir
perorangan. Dan berhentinya pendertiaan, itu adalah Kebahagiaan, yaitu
kebangkitan dan sadar terang. Demikianlah, Bapa, pengertian tentang hakekat
”Aku”, dunia keadaan, dan penderitaan itu!
263. Bapa:
Bagus, bagus, bagus sekali, Ananda!
Dan jikalau engkau bertanya mengenai
Jalan yang harus ditempuh untuk merealisasi sendiri (menyelami sendiri) sadar
terang, yatu merealisasi sendiri berhentinya penderitaan, Ananda, maka terlebih
dahulu engkau harus mengerti dan mengenali akan sebab musabab yang menimbulkan
penderitaan itu.
Dan sekarang engkau sudah dapat
mengenalinya. Coba, Ananda, terangkan apa yang menjadi sebab musabab timbulnya
penderitaan itu!
264. Ananda:
Sebab musabab timbulnya penderitaan
adalah ketidaktahuan (kebodohan), Bapa!
Karena kodrat ketidaktahuan itu, maka
pikiran lalu melakukan kekeliruan yang besar lagi mendasar, yaitu dengan
menyusun proses berpikir perorangan yang berwujud sebagai apa yang dinamakan
tata susunan pikiran.
Tata susunan pikiran itu, Bapa, yang
dapat dicirikan secara khas sebagai pembentuk proses perorangan, melakukan
kegiatannya berlandaskan pembedaan-pembedaan, kebiasaan tanggapan, dan
kemelekatan kepada rupa dan nama yang diberi arti dan nilai-nilai yang serba
dua.
Dengan singkat dapat dikatakan, Bapa,
bahwa sebab musabab timbulnya penderitaan adalah ketidaktahuan, dimana ketidaktahuan
itu berwujud sebagai tata susunan pikiran yang membentuk proses perorangan
melalui pembedaan, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan.
265. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Nah, setelah sebab musabab timbulnya
penderitaan itu dikenali, Ananda, maka Jalan yang harus ditempuh untuk
merealisasi berhentinya penderitaan lalu menjadi jelas.
Jalan yang harus ditempuh untuk menghentikan penderitaan adalah menghentikan
ketidaktahuan;
menghentikan ketidaktahuan adalah menghentikan
bekerjanya tata susunan pikiran; menghentikan bekerjanya tata susunan pikiran
adalah menghentikan kemelekatan kepada kebiasaan menanggapi pembedaan-pembedaan
khayal. Jadi, Ananda, untuk menghentikan penderitaan, yang berarti merealisasi
sadar terang atau kebahagiaan penderitaan, yang berarti merealisasi sadar
terang atau kebahagiaan itu adalah dengan menempuh jalan menghentikan
kemelekatan kepada kebiasaan menanggapi pembedaan-pembedaan khayal.
266. Ananda:
Telah dikatakan, Bapa, bahwa berhentinya
penderitaan, itu adalah berhentinya kesenangan, maupun kesusahan, itu adalah
penderitaan itu juga. Dan aku pernah berpendapat, Bapa, bahwa berhentinya
kesenangan dan kesusahan itu berarti kematian. Tetapi ternyata, bahwa
berhentinya kesenangan dan kesusahan itu bukanlah kematian, melainkan
berhentinya kesenangan dan kesusahan itu adalah kebangkitan dan sadar terang.
Dalam hubungan itu, Bapa, lalu apakah
makna daripada ”kematian”itu sendiri? Dan bagaimanakah hubungannya
dengan”tubuh” dan ”jiwa” atau ”sukma” itu? Sudikah Bapa menjelaskan?
7. HIDUP DAN MATI
267. Bapa:
Sebelum menjawab pertanyaanmu tentang
apakah sebetulnya makna daripada apa yang dinamakan ”kematian” itu, Ananda,
maka aku hendak bertanya lebih dahulu kepadamu!
Ananda, menurut pengertian benar,
apakah ”tubuh” itu Kenyataan atau bukan kenyataan?
268. Ananda:
”Tubuh” itu ada dan terwujud, Bapa,
dan oleh karena itu, ”tubuh” tergolong sebagai kebenaran rupa dan nama.
Sebagaimana kebenaran rupa dan nama yang berkodrat khayalan palsu, Bapa, maka
”tubuh” itu bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar-pikiran yang
timbul dari pikiran, dan dilihat seta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.
269. Bapa:
Bagus! Lalu bagaimanakah pendapatmu
tentang ”tubuh” itu, Ananda? Dapakah ”tubuh” itu dirusak dan dihancurkan?
270. Ananda:
Karena ”tubuh” itu bukan kenyataan
apa-apa, kecuali gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri, Bapa,
maka ”tubuh” itu tidak dapat dirusak dan dihancurkan!
271. Bapa:
Tetapi, Ananda, menurt fakta duniawi,
bukankah ”tubuh” itu dapat rusak dan hancur? Bagaimanakah keteranganmu tentang
hal itu, Ananda?
272. Ananda:
Benar, Bapa, menurut fakta duniawi
”tubuh” itu dapat rusak dan hancur. Tetapi, Bapa, apa yang terlihat sebagai
”rusak” dan ”hancur” itu sebetulnya tidak lain adalah gerak perubahan;
sedangkan gerak perubahan itu sendiri sebetulnya bukanlah kenyataan apa-apa,
kecuali pencerminan yang menerangkan sendiri tentang timbul dan tenggelamnya
pergantian-pergantian gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri oleh
sebab pembedaan-pembadaan khayal.
273. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Memang, ”tubuh” itu tidak dapat
dirusak dan dihancurkan, karena apa yang terlihat sebagai kerusakan dan
kehancuran itu tidak lain hanyalah perwujudan daripada timbul dan tenggelamnya
pergantian-pergantian gagasan pikiran oleh sebab pembedaan-pembedaan khayal.
Hanya karena kemelekatan pikiran kepada kebiasaan menanggapi
pembedaan-pembedaan khayal itulah, maka lalu terlihat seolah-olah ”tubuh” itu
adalah kenyataan yang dapat rusak dan hancur! Nah, sekarang aku hendak bertanya
kepadamu tentang apa yang dinamakan ”Jiwa”, atau ”sukma” itu, Ananda!
Bagaimana menurut pendapatmu, Ananda,
apakah ”Jiwa” atau ”Sukma” itu kenyataan, ataukah bukan kenyataan?
274. Ananda:
Menurut sementara pujangga, Bapa,
”Jiwa” atau ”Sukma” itu adalah kenyataan Esa yang tak pernah terlahir, tak
pernah mati, dan kekal selama-lamanya sebagai sebab pertama yang menjadikan dan
menghidupkan segala apa yang ada dan berwujud ini.
Bapa, jikalau ”jiwa” atau ”sukma” dispekulasikan
sebagai ”sebab pertama” yang menjadikan dan menghidupkan segala apa yang ada
dan berwujud ini, maka pengertian ”jiwa” atau ”sukma” semacam itu tidak dapat
aku terima sebagai kenyataan! Sebabnya adalah, bahwa ”sebab pertama” itu tidak
lain hanyalah gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri oleh sebab
kemelekatannya kepada pembedaan-pembedaan serba dua mengenai ”sebab” dan
”akibat” Dan jikalau ”jiwa” atau ”sukma” itu dispekulasikan sebagai kenyataan
esa yang mempunyai kodrat sendiri untuk melakukan perbuatan menjadikan dan menghidupkan,
maka pengertian ”Jiwa” atau ”sukma” semacam itu pun tidak dapat aku terima
sebagai kenyataan! Sebabnya adalah, bahwa ”kodrat sendiri” itu tidak lain
hanyalah gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri oleh sebab
kemelekatannya kepada rupa, nama dan perbuatan-perbuatan. Tetapi, Bapa, jikalau
”jiwa” atau ”sukma” itu diartikan sebagai kenyataan Esa yang hampa zat, hampa
pembedaan, hampa sebutan, dan hampa perbuatan, dan yang oleh karenanya lalu berarti
hampa sebab dan hampa kodrat sendiri, maka pengertian ”jiwa” atau ”sukma”
seperti itu dapat aku terima sebagai Kenyataan.
276. Bapa:
Bagus, bagus, Ananda, bagus!
“Jiwa” atau “sukma” yang
dispekulasikan oleh sementara pujangga sebagai “sebab pertama” yang mempunyai
“kodrat sendiri” untuk melakukan perbuatan menjadikan dan menghidupkan, itu
bukan kenyataan apa-apa, kecuali gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu
sendiri. Dan oleh karena itu, maka “jiwa” atau “sukma” seperti itu adalah
berkodrat khayalan palsu.
Ananda, sekarang kembali kepada
pertanyaanmu tentang apa yang dinamakan ”kematian” itu!
”Kematian, Ananda, jikalau diartikan
sebagai ”kerusakan” atau ”kehancuran” daripada ”tubuh”, maka ”kematian” seperti
itu tidak lain hanyalah gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri,
dan yang kodratya adalah khayalan palsu.
276. Ananda:
Dan jikalau ”kematian” itu diartikan
sebagai perginya ”jiwa” atau ”sukma” yang meninggalkan tubuh, Bapa, lalu
bagaimana?
277. Bapa:
Ananda, apakah ”tubuh” itu suatu
tempat, atau suatu yang memerlukan tempat?
278. Ananda:
Karena ”tubuh” itu hanyalah gagasan
pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri, Bapa, tentunya ”tubuh” itu bukan
suatu tempat, dan bukan pula sesuatu yang memerlukan tempat.
279. Bapa:
Nah. Ananda, jikalau telah ternyata,
bahwa ”tubuh” itu bukan suatu tempat, dan juga bukan sesuatu yang memerlukan
tempat, apakah ada sesuatu yang dapat meninggalkan “tubuh” itu?
280. Ananda:
Tentu saja tidak, Bapa!
Kalau begitu jelas, Bapa, bahawa
”jiwa” atau ”sukma” itu bukanlah kenyataan yang pernah datang kepada ”tubuh”
atau pergi meninggalkan ”tubuh”. Datang dan perginya ”Jiwa” atau ”sukma” itu
tidak lain hanyalah gagasan pikiran yang timbul dari kemelekatan pikiran kepada
rupa, nama, dan kodrat sendiri.
281. Bapa:
Ananda, manusia dengan kesadaran ”aku
pribadi” (kesadaran ego) itu mempunyai cara berpikir yang tersalur melalui tata
susunan pikiran yang berkodrat perorangan, dan melekat kepada berbagai rupa dan
nama yang dikiranya mempunyai zat sendiri dan kodrat sendiri.
Oleh karena demikian, Ananda, maka
manusia dengan kesadaran ”aku Pribadi” (kesadaran ego) lalu takut kepada
kerusakan tubuh, takut kepada kehancuran tubuh, takut kehilangan jiwa, takut
kehilangan sukma, takut kehilangan nyawa, taku kehilangan roh, pendek kata:
mereka takut sakit dan taku mati. Mereka ingin dan berusaha untuk
mempertahankan hidup perorangannya, yang dikiranya sebagai terdiri dari ”tubuh”
dan ”jiwa” yang mempunyai zat sendiri dan kodrat sendiri, dan berkelana
kemana-mana untuk mencari kesenangan-kesenangan rupa dan nama.
Mereka lalu melekat kepada
sikap-sikap, perbuatan-perbuatan, kata-kata, kecakapan-kecakapan,
pandangan-pandangan filsafat, dan hal yang serba dua, seolah-olah kesemuannya
itu adalah banyaknya dan macamnya kenyataan-kenyataan. Mereka tidak dapat
menyadari dengan terang, bahwa kesemuanya itu sebetulnya bukan kenyataan
apa-apa, kecuali buah hasil proses berpikir perorangan yang berkodrat khayalan
palsu, yang di bentuk dan dipertahankan oleh tata susunan pikiran.
Jadi, Ananda, selama tata susunan
pikira itu belum terhenti, maka disitu akan selalu terdapat kesadaran ”aku
pribadi”; dan selama masih terdapat kesadaran ”aku pribadi”, maka disitu
manusia hidup dalam dunia gambaran khayal yang kodratnya bagaikan tidur
bermimpi, dan tidak dapat merealisasi sendiri sadar terang.
Sebaliknya, Ananda, jikalau tata
susunan pikiran itu berhenti bekerja, maka disitu terdapat ”pembalikan”” dari
kesadaran ”aku pribadi” kepada kesadaran ”Aku Kenyataan Esa” (kesadaran esa);
dan dalam kesadaran esa, manusia hidup dalam realisasi kebangkitan dan sadar
terang.
Tegasnya, Ananda, didalam kesadaran
ego, maka manusia itu berada didalam kodrat tidur bermimpi, dan tidak sadar
terang. Didalam kodrat tidur bermimpi dan tidak sadar terang inilah, Ananda,
makna dan arti yang sebetulnya mengenai apa yang disebut sebagai maut dan mati
itu.
Dan didalam kesadaran esa, Ananda,
maka manusia berada dalam kodrat kebangkitan dan sadar terang. Didalam kodrat
kebangkitan dan sadar terang (enlightened) inilah, Ananda, makna dan arti yang
sebetulnya mengenai apa yang di sebut sebagai Hidup Kekal yang tiada kematian.
282. Ananda:
Mengertilah aku sekarang, Bapa, bahwa
soal mati dan hidup itu bukanlah soal pembedaan-pembedaan rupa dan nama,
melainkan soal realisasi sadar terang. Tidak sadar terang itu artinya tidak
tahu mana yang kenyataan, dan mana yang bukan kenyataan; tidak tahu mana yang
kenyataan dan mana yang bukan kenyataan itu artinya tidak tahu apa-apa; dan
tidak tahu apa-apa itulah pikiran ”tertidur” dan ”mimpi” atau mati.
Sebaliknya, sadar terang itu artinya
tahu mana yang sesungguhnya kenyataan, dan mana yang sesungguhnya bukan
kenyataan; tahu mana yang sesungguhya kenyataan, dan mana yang sesungguhnya
bukan kenyataan itu artinya sungguh-sungguh bangun dan bangkit dari ”tidak
bermimpi”; dan sungguh-sungguh bangun dan bangkit dari ”tidur bermimpi” itulah
bangkit dari kematian atau hidup. Bukan begitu, Bapa?
283. Bapa:
Benar, Ananda, memang begitu!
Jadi selama pikiran terpenjara
didalam tata susunan pikiran hasil rekaannya sendiri, Ananda, maka disitu
pikiran lalu ”tertidur” dan tidak sadar terang. Itulah kematian atau maut! Dan
begitu pikiran melepaskan diri dari kemelekatannya kepada tata susunan pikiran,
maka disitu pikiran lalu ”bangkit” dan sadar terang. Itulah bangkit dari
kematian (kiyamat) atau hidup!
284. Ananda
Telah dikatakan, Bapa, bahwa begitu
pikiran melepaskan diri dari kemelekatannya kepada tata susunan pikiran, maka
pikiran lalu ”bangkit” dan sadar terang. Ini berarti, bahwa melepaskan
kemelekatan pikiran kepada tata susuana pikiran, itu adalah jalan menuju
kebangkitan dan sadar terang, atau jalan menuju hidup.
Tetapi, Bapa, meskipun jalan sudah
diketahui, namun jikalau cara menempuh jalan itu belum diketahui, maka hal itu
mungkin akan menyebabkan kegagalan untuk dapat sampai kepada tujuan. Sudikah
Bapa menerangkan mengenai cara menempuh jelan kebagkitan yang menuju kepada
hidup itu?
8. JALAN KEBANGKITAN
DAN USAHA PENYELAMAN-SENDIRI
285. Bapa:
Ananda, engkau telah mengenali, bahwa
kesadaran ego adalah kematian; dan ”pembalikan” pikiran dari kesadaran ego
kepada kesadaran esa adalah bangkit dari kematian, dan hidup sadar terang. Dan
”pembalikan” itu terjadi, Ananda, ketika tata susunan pikiran berhenti
melakukan kegiatannya.
Untuk dapat mengerti akan cara
bagaimanakah merealisasi berhentinya tata susunan pikiran, Ananda, bagi yang
belum pernah menyelami sendiri sadar terang, maka masih diperlukan bantuan
berupa petunjuk dan ajaran.
Ananda, jikalau kita berbicara
perihal petunjuk dan ajaran, maka disitu terdapat dua hal yang saling
berkaitan, dan yang kodratnya harus dimengerti dengan sungguh-sungguh, yaitu
mengenai kata-kata dan arti.
Ajaran, Ananda, disampaikan untuk
menunjukkan arti dari pada kenyataan, supaya kodrat kenyataan itu dapat
dikenali. Dan menunjukkan arti, Ananda, dilakukan dengan menggunakan kata-kata
yang dijadikan nama-nama, sebab tanpa menggunakan kata-kata dan nama-nama, maka
arti itu tidak dapat dinyatakan dan tidak dapat ditunjukkan.
Untuk lebih jelasnya, Ananda, inilah
sebuah perumpamaan!
Misalnya saja, Ananda, aku hendak
menunjukkan kepadamu akan arti daripada madu, yang belum pernha kaukenali
sebelumnya. Kemudian aku berbicara kepadamu: ”Ananda, madu itu manis”.
Sekarang aku bertanya kepadamu,
Ananda! Apakah dengan kata-kata yang bunyinya ”madu itu manis” engkau sudah
dapat mengenali kesungguhan daripada madu yang manis itu, Anada?
286. Ananda:
Tentu saja belum, Bapa! Hanya dengan
mendengar bunyi kata-kata “madu itu manis”, Bapa, belum berarti, bahwasanya aku
sudah dapat mengenali kesugguhan daripada madu manis itu.
287. Bapa:
Betul! Jadi hanya mengenal akan bunyi
kata-kata “madu itu manis”, belum berarti bahwasanya engkau telah mengenali
akan kesungguhan arti daripada madu yang manis itu.
Lalu, untuk dapat mengenali
kesungguhan arti daripada madu yang manis itu, Ananda, apakah yang seharusnya
kau lakukan?
288. Ananda:
Untuk dapa mengenali kesungguhan arti
daripada madu yang manis itu, Bapa, maka aku harus mencicipi sendiri madu itu!
289. Bapa:
Benar, Ananda!
Untuk mengenali kesungguhan arti
daripada madu yang manis itu, maka engkau harus mencicipi sendiri madu itu, dan
engkau harus menghayati dan merealisasi sendiri (menyelami sendiri). Arti
daripada kenyataan, itu tidak dapat dikenali melalui peryataan kata-kata dan
nama-nama. Arti, Ananda, itu berdiri sendiri, dan tidak bergantung kepada apa
atau siapapun; arti tidak bergantung kepada kata-kata dan nama-nama yang
digunakan.
Arti adalah hampa syarat dan hampa
pembedaan!
Itulah kodratnya arti.
290. Ananda:
Lalu bagaimanakah kondratnya
kata-kata dan nama-nama itu, Bapa?
291. Bapa:
Ananda, nama-nama itu bergantung
kepada kata-kata; sedangkan kata-kata itu timbul dari pembedaan-pembedaan
sebagai sebab musababnya.
Kata-ktaa, Ananda, dibeda-bedakan
secara khayal menurut bentuknya dan bunyinya huruf-huruf. Kata-kata itu timbul
dari pembedaan-pembedaan suara yang dikhayalkan oleh tata susunan pikiran
sebagai kenyataan rupa, yang kemudian diberikan arti dan nilai-nilai khayal
”begini” atau ”begitu” seolah-olah kata-kata itu sama dengan benda.
Kata-kata, Ananda, yang sudah
diberikan arti-arti dan nilai-nilai khayal, itulah yang disebut nama. Nama-nama
itu dikhayalkan oleh tata susunan pikiran sebagai benda-benda yang mempunyai
zat sendiri dan kodrat sendiri, sehingga akhirnya seseorang lalu berkata:
”Jikalau begitu itu namanya, maka begitu itulah bendanya”.
Singkatnya, Ananda, kata-kata dan
nama-nama itu adalah kebenaran rupa yang kodratnya khayalan palsu, dan timbul
dibawah syarat pembedaan-pembedaan khayal.
Bagaimana, Ananda, cukup jelaskah
mengenai kodrat arti dan kodrat kata-kata dan nama-nama?
292. Ananda:
Cukup jelas, Bapa!
Mengenai arti daripada kenyataan itu
tidak sama dengan mengenal arti daripada kata-kata dan nama-nama, karena
kenyataan itu tidak sama dengan kata-kata dan nama-nama.
Mengenal arti daripada kenyataan itu
hanya dapat dicapai dengan cara merealisasi sendiri atau menyelami sendiri
kenyataan itu dan mengenal arti daripada kenyataan itu tidak dapat dicapai
dengan cara mengenal arti kata-kata.
293. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Mengenai arti daripada Kenyataan, itu
hanya dapat diusahakan dengan merealisasi sendiri atau menyelami sendiri
Kenyatan itu! Ingat baik-baik hal ini! Mengenai arti daripada Kenyataan tidak
dapat diusahakan dengan hanya mengerti arti kata-kata (literal meaning), karena
kata-kata bukanlah Kenyataan itu sendiri.
Kata-kata, Ananda, hanyalah bagaikan
papan penunjuk jalan yang menunjukkan kiblat (arah), kearah mana seharusnya
engkau menghadapkan perhatianmu dan kemudian berjalan agar engkau mengerti dan
tidak tersesat jalan. Tetapi, Ananda, untuk dapat mencapai dan menemukan
tujuanmu, maka engkau harus berusaha sendiri untuk berjalan sendiri menempuh
jalan itu.
Sebagai perumpamaan, Ananda, engkau
boleh saja mengerti apa yang diterangkan oleh papan penunjuk jalan itu, bahwa
jarak Jakarta ke Surabaya itu adalah 800 kilometer, dan di Surabaya itu
terdapat sebuah tugu pahlawan, tetapi jikalau papan penunjuk jalan itu hanya
kau baca dan kau mengerti saja dengan tidak mau berusaha sendiri untuk berjalan
sendiri menempuh jalan 800 kilometer itu, maka engkau tidak akan pernah sampai
di Surabaya, Ananda, dan engkau tidak akan pernah melihat sendiri tugu pahlawan
itu!
Demikian pula halnya dengan
Kenyataan, Ananda!
Engkau boleh mengerti dengan segala
kekuatannya arti kata-kata dan pengertian benar mengenai kenyataan Sadar
Terang, tetapi jikalau engkau tidak mau berusahan sendiri untuk merealisasi
sendiri atau menyelami sendiri arti daripada Kenyataan dan Sadar Terang itu,
maka engkau tidak bakal sampai kepada Kenyataan dan Sadar Terang.
Ananda, aku sekarang hendak
menerangkan kepadamu tentang cara menempuh jalan kebangkitan menuju kepada
Sadar Terang dengan menggunakan kata-kata! Tetapi, hati-hatilah, hendaknya
engkau tidak terlibat didalam menganalisa dan menguraikan arti kata-kata
daripada kata-kata yang aku gunakan! Cobalah engkau berusaha sendiri untuk
mengerti dengan menembusi arti daripada Kenyataan!
294. Ananda:
Bagaimanakah tegasnya, Bapa, mengerti
dengan menembusi arti daripada Kenyataan itu?
295. Bapa:
Ananda, mengerti dengan menembusi
arti daripada Kenyataan, itu adalah mengerti, bahwa segala rupa dan nama itu
”ada” hanya sebagai gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri, dan
bukan Kenyataan dunia luar. Dan menyelami sendiri arti daripada Kenyataan itu,
Ananda, adalah memperlakukan segala rupa dan nama itu sebagai perwujudan
”engkau-sendiri”, dan tidak memperlakukan segala rupa dan nama itu sebagai
dunia luar yang mempunyai zat sendiri dan kodrat sendiri. Bagaimana, Ananda,
cukup jelas?
296. Ananda:
Cukup Jelas, Bapa!
Sekarang, sudikah Bapa meruskan
penerangan mengenai cara menempuh jalan kebangkitan yang menuju kepada Sadar
Terang itu?
297. Bapa:
Ananda, jikalau engkau sudah hampir
dapat memuncakkan akalmu, sehingga engkau dapat mengerti, bahwasanya segala
rupa dan nama yang ada dan berwujud ini adalah bukan kenyataan apa-apa, kecuali
perwujudan pikiran yang timbul dari pikiran, dan dilihat oleh pikiran itu
sendiri, maka disitu dikatakan, bahwa engkau sudah dapat mencapai Pengertian -
Benar. Mencapai pengertian benar itu, Ananda, dapat diperumpamakan sebagai
seseorang yang ”terbangun” dari tidur dan impiannya.
Ananda, sebagai biasanya orang yang
”terbangun” dari tidurnya, ia tidak segera ”bangkit” dan berjalan meninggalkan
tempat tidurnya, melainkan masih saja menggolek-golek badannya disitu. Dalam
keadaan setengah sadar ia mengenangkan kembali apa-apa yang telah terjadi didalam
impiannya dengan segala kesenangan dan kesusahannya. Nah, disini terjadi dua
kemungkinan, Ananda, yaitu jatuh ”tertidur” lagi, atau ”bangkit” lalu berjalan
meninggalkan tempat tidurnya.
Didalam hal dia yang bermimpi tentang
peristiwa-peristiwa menakutkan dan menyusahkan, Ananda, maka pada saat ia “terbangun”
dari mimpinya bertanyalah ia pada dirinya sendiri: ”Apakah yang terjadi tadi
itu sungguh-sungguh ataukah bukan sungguh-sungguh? Setelah disadari, bahwa apa
yang terjadi dalam mimpi tadi itu bukan sungguh-sungguh, dan hanya sia-sia
belaka, maka ”bangkit”-lah ia dan berjalan meninggalkan tempat tidurnya. Tetapi,
sebaliknya, bagi dia yang bermimpi tentang hal-hal yang serba menyenangkan,
Ananda, maka pada saat ia ”terbangun” ia tidak bertanya apa-apa lagi, bahkan
justru ingin meneruskan impiannya.
Nah, seperti demikian itu pulalah
halnya, Ananda, bagi mereka yang sudah dapat mencapai pengertian benar. Ia
mengerti, bahwa kepribadian aku dan dunia lahiriah sekitarnya itu bukan
kenyataan apa-apa, namun karena begitu kuatnya kemelekatannya kepada
kebiasaannya menanggapi rupa dan nama sebagai banyaknya dan macamnya
kenyataan-kenyataan yang diperlukan dan dibutuhkan didalam kehidupan ini, maka
ia tidak mempunyai cukup kekuatan kemauan untuk segera ”bangkit” dan berjalan
merealisasi sendiri Kenyataan untuk segera ”bangkit” dan berjalan merealisasi
sendiri Kenyataan Sadar Terang. Ia tetap tinggal bergolek-golek di ”tempat
tidur” pembedaan-pembedaan rupa dan nama, sambil terus menerus berkata-kata
tentang berbagai segi (aspek) daripada pengertian benar.
Ananda, engkau telah mengenali, bahwa
jalan menuju kebangkitan sadar terang, itu adalah menghentikan kegiatan
bekerjanya tata susunan pikiran. Tetapi engkau tidak akan dapat menghentikan
kegiatan bekerjanya tata susunan pikiran, jikalau engkau tidak menghentikan
sesuatu yang menyangga hidupnya tata susunan pikiran itu, Ananda!
298. Ananda:
Lalu, apakah ”sesuatu” yang menyangga
hidupnya tata susunan pikiran itu, Bapa?
299. Bapa:
Ada
dua cara, Ananda, bagaiman tata susunan pikiran itu berhenti melakukan kegiatannya,
yaitu: pertama, dengan memutuskan ”kontak” diantara alat-alat perasaan dengan
dunia luar; dan kedua, dengan menghentikan pembedaan-pembedaan rupa dan nama.
Ananda, tatkala ”kontak” diantara alat-alat
perasaan dan dunia luar diputuskan, maka disitu tidak timbul perasaan-perasaan
pikiran; dan dengan tidak timbulnya perasaan-perasaan pikiran, maka disitu
kebiasaan tanggapan menjadi terhenti. Dengan berhentinya kebiasaan tanggapan,
Ananda, maka pembedaan-pembedaan rupa dan nama terhenti pula. Dan oleh karena
pembedaan-pembedaan rupa dan nama terhenti, maka disitu tugas (fungsi) berpikir
perorangan terhenti pula, yang ini berarti kegiatan tata susunan pikiran
menjadi terhenti. Dengan berhentinya kegiatan tata susunan pikiran, maka
terjadilah ”pembalikan” dari kesadaran ego kepada kesadaran kenyataan esa,
yaitu kebangkitan pikiran dari kematiannya. Maka dengan demikian
terealisasihlah sadar terang atau hidup kekal yang tak berkematian itu!
Yang kedua, Ananda, tata susunan
pikiran itu terhenti, tatkala pembedaan-pembedaan rupa dan nama itu dihentikan.
Ananda, setelah dimengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa rupa dan nama itu
adalah pengertian-pengertian timbul dan tenggelamnya gagasan-gagasan pikiran
terus-menerus dengan tak pernah terputus-putus, maka gerak perubahan daripada
dunia lahiriah ini tidak dilihat lagi sebagai banyaknya dan macamnya rupa dan
nama yang mempunyai kodrat sendiri, melainkan gerak perubahan dunia lahiriah
ini terlihat sebagai kelangsungan kegiatan yang tak pernah terputus. Dan
setelah dunia lahiriah ini terlihat sebagai kelangsungan kegiatan semata-mata,
Ananda, maka disitu berhentilah pembedaan-pembedaan perorangan dengan segala
sikap-sikap dan perbuatan-perbuatannya, baik yang dinilai sebagai baik, maupun
yang dinilai sebagai buruk. Dan dengan berhentinya pembedaan-pembedaan rupa dan
nama yang berkodrat perorangan dan serba dua itu, Ananda, maka berhenti pulalah
kegiatan bekerjanya tata susunan pikiran. Dengan berhentinya kegiatan tata susunan
pikiran itu, maka terealisasilah kebangkitan dan sadar terang atau hidup kekal
yang tak berkematian itu!
Ananda, kebangkitan dan sadar terang
itu tidak dapat dicapai melalui khotbah-khotbah, pidato-pidato, ajaran-ajaran
arti kata-kata, dan pengertian-pengertian serba dua, tidak, tidak dapat dicapai
dengan cara begitu itu! Kebangkitan dan sadar terang haya dapat dicapai dengan
diusahakan sendiri, dan direalisasi sendiri melalui penyelaman diri, yaitu
”membalikkan” kesadaran ego kepada kesadaran esa dengan cara menghentikan
kegiatan bekerjanya tata susunan pikiran yang berkodrat perorangan.
300. Ananda:
Tadi telah dikatakan, Bapa, bahwa
mencapai pengertian benar itu dapat diperumpamakan sebagai seseorang yang
”terbangun” dari tidur mimpinya. Dan bagi seseorang yang sudah ”terbangun”,
barulah terbuka kemungkinan untuk ”bangkit” dan berjalan meninggalkan tempat
tidurnya.
Dan seperti itu pulalah halnya dengan
realisasi kebangkitan dan sadar terang. Bagi seseorang yang sudah dapat
mencapai pengertian benar, maka barulah terbuka kemungkinan baginya untuk
menrealisasi kebangkitan dan sadar terang. Menurut faktanya, Bapa, pengertian
benar itu dicapai oleh seseorang dengan melalui batuan orang lain berupa
petunjuk dan ajaran. Tetapi, mengapakah lalu dikatakan, bahwa kebangkitan dan
sadar terang itu tidak dapat dicapai melalui ajaran?
9. SISWA, GURU, DAN
AJARAN
301. Bapa:
Ananda, ajaran dari seorang guru itu
perlu bagi seseorang yang membutuhkan pengertian, dan karena membutuhkan
pengertian, maka seseorang lalu bertanya. Jadi, bertanya, itu adalah ”tanda”
bagi seseorang yang membutuhkan pengertian. Tetapi, didalam hubungannya dengan
kebangkitan dan sadar terang, Ananda, yang diperlukan oleh seseorang bukanlah
pengertian arti kata-kata atau pengertian harfiah (literal meaning), melainkan
pengertian benar, yaitu mengerti, bahwa segala apa yang ada dan berwujud itu
sebetulnya bukan kenyataan apaapa, kecuali perwujudan gambar pikiran yang
timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.
Sebagai contoh misalnya, jikalau
seseorang hendak pergi ke Surabaya, dan disana ia hendak melihat tugu pahlawan,
maka terlebih dahulu ia memerlukan pegertian tentang hal ikhwalnya bepergian ke
Surabaya itu. Dan oleh karena ia memerlukan pengertian tentang hal ikhwalnya
bepergian ke Surabaya itu, maka ia lalu bertanya kepada seseorang lain yang
sudah pernah pergi kesana untuk mendapatkan petunjuk dan ajaran.
Dan setelah pengertian itu dicapai
dan diperolehnya, Ananda, maka soal perginya atau tidak perginya ke Surabaya
itu sendiri, bukanlah persoalannya seseorang yang memberikan petunjuk dan
ajaran itu, dan juga bukanlah persoalan petunjuk dan ajaran itu sendiri,
melainkan persoalan usaha sendiri, dan realisasi – sendiri daripada orang yang
sudah mencapai pengertian itu. Begitu pulalah halnya dengan kebangkitan dan
sadar terangn itu, Ananda! Setelah seseorang mencapai pengertian benar, Ananda,
maka soal mau bangkit dan merealisasikan sadar terang atau tidak mau bangkit
merealisasikan sadar terang, itu bukanlah persoalan orang yang memberikan
petunjuk dan ajaran, dan juga bukanlah persoalan ajaran dan pengertian benar
itu sendiri, melainkan persoalan usaha-sendiri dan merealisasi-sendiri
(penyelaman-sendiri) daripada orang yang sudah mencapai pengertian benar itu.
Dan itulah sebabnya, mengapa lalu dikatakan, bahwa kebangkitan dan sadar terang
itu tidak dapat dicapai melalui ajaran, apa lagi melalui ajaran arti kata-kata
(words teaching). Bagaimana, Ananda, cukup terangkah?
302. Ananda:
Sudah, sudah cukup terang, Bapa!
Jadi, pengertian benar itu dicapai
oleh seseorang siswa melalui bantuan seorang guru berupa petunjuk dan ajaran.
Tetapi, soal mencapai kebangkitan dan sadar terang, itu bukanlah persoalan
guru, dan juga bukan persoalan ajaran, melainkan persoalan usaha sendiri dan
penyelamatan sendiri dari siswa yang bersangkutan.
303. Bapa:
Bagus!
Ananda, jikalau kita berbicara soal
pengertian benar, maka disitu terdapat 3 hal yang saling berkaitan, yaitu soal
siswa, guru, dan ajaran. Guru memberikan ajaran tentang pengertian benar kepada
siswa, sedangkan siswa menerima ajaran tentang pengertian benar dari guru. Nah,
dalam hubungan itu, Ananda, maka aku hendak bertanya kepadamu!
Karena guru itu memberikan ajaran
kepada siswa, maka bagaimanakah pendapatmu tentang guru itu, Ananda? Dapatkah
guru itu membuat siswa itu mengerti? Coba terangkan jawabmu!
304. Ananda:
Guru dapat memberikan ajaran kepada
siswa, Bapa, namun guru tidak dapat membuat siswa itu mengerti! Siswa dapat
mengerti karena usahanya sendiri, karena yang berfikir, yang merenungkan, yang
mempertimbangkan, dan yang memutuskan adalah siswa itu sendiri.
305. Bapa:
Bagus!
”Mengerti” itu tidak dapat dibuat
oleh seorang guru, dan ”mengerti” itu tidak dapat diberikan oleh seoarang guru
kepada seorang siswa. ”Mengerti” itu dicapai oleh seseorang siswa atas usahanya
sendiri.
Jadi, Ananda, Jelaslah, bahwa tugas
(fungsi) seorang guru itu adalah semata-mata menyampaikan dan mengutarakan
petunjuk dan ajaran dengan cara yang seterang-terangnya, namun tiada hak dan
kewajiban seorang guru untuk memaksakan apapun kepada siswa, karena seorang
guru tidak mungkin dapat membuat dan meberikan ”mengerti” kepada siswa.
306. Ananda:
Untuk menghindarkan diri dari
kekeliruan, dan supaya dapat mengenali dengan cara yang benar, sudilah Bapa
menjelaskan tentang kodrat daipada siswa, guru, dan ajaran itu?
307. Bapa:
Biasanya, Ananda, karena kesusahan,
kesakitan, dan lain-lain hal yang sangat mencekam perasaan perorangannya, maka
seseorang biasanya lalu bertanya kepada dirinya sendiri, dan berusaha untuk
mencari dan menemukan hakekat dirinya dan dunia lahiriah sekitarnya, dengan
harapan akan dapat melepaskan diri dari cekaman perasaan susah dan takut itu.
Dan jikalau ia ternyata tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri itu, dan
tidak dapat menemukan apa yang ia cari, maka mulailah ia bertanya kepada orang
lain, yang dianggapnya sebgai ”guru” yang akan dapat memberikan ”ajaran”
kepadanya sebagai seorang ”siswa”.
Jelaslah, Ananda, bahwa karena
bertanya, maka disitu lalu timbul apa yang dinamakan guru, siswa, dan ajaran.
Dan jikalau pertanyaan itu di tujukan kepada orang lain, maka gurunya adalah
”seorang” pribadi; ia sendiri sebagai siswa adalah ”seorang” pribadi; dan
ajarannya adalah berupa kata-kata dan nama-nama. Ananda, jikalau seseorang
sudah mulai bertanya akan hakekat penderitaannya, atau hakekat dirinya, atau
hakekat dunia lahiriah sekitarnya, maka ”pertanyaan” itu dapat dikatakan
sebagai ”tanda” bahwa seseorang itu sudah mulai akan ”bangun” dari tidur dari
mimpinya.
Nah, dengan penjelasan itu, Ananda,
maka sekarang aku hendak bertanya kepadamu! Ananda, tatkala seseorang telah
menunjukkan ”tanda-tanda” akan ”bangun”, maka bagaimanakah kodrat daripada
siswa, guru, dan ajaran itu?
308. Ananda:
Tatkala seseorang sudah mulai
bertanya dan mencari akan hal-hal yang hakiki mengenai penderitaannya, atau
mengenai dirinya sendiri, atau mengenai dunia lahiriah sekitarnya, maka hal itu
adalah merupakan ”tanda”, bahwa orang itu sudah akan ”bangun”. Dalam hal
demikian, Bapa, maka kodrat siswa dan guru adalah perorangan, sedangkan kodrat
ajarannya adalah himpunan kata-kata dan nama. Bukankah demikian, Bapa?
309. Bapa:
Bagus sekali, Ananda, memang demikian
itulah! Nah, setelah seseorang benar-benar ”bangun”, Ananda, artinya: setelah
seseorang benar-benar mencapai pengertian benar, yaitu benar-benar mengerti,
bahwasanya segala apa yang ada dan berwujud itu tidak lain hanyalan perwujudan
pikiran yang timbul dari pikiran dan dilihat oleh pikiran itu sendiri, maka
disitu timbullah perubahan (transformation)
kodrat daripada pengertian siswa, guru, dan ajaran.
310. Ananda:
Timbul perubahan kodrat yang
bagaimanakah, Bapa, setelah seseorang itu mencapai pengertian benar?
311. Bapa:
Ananda, setelah seseorang mencapai
pengertian benar, maka mulailah ia mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa
”diri”-nya sendiri itu sebetulnya bukanlah kenyataan perorangan yang mempunyai
rupa dan nama, tetapi ia itu adalah pikiran berpikir dalam kodratnya yang
benar, yaitu pikiran berpikir benar.
Dan ia mengerti pula, Ananda, bahwa
gurunya itu sebetulnya bukanlah kenyataan perorangan yang mempunyai rupa dan
nama, tetapi gurunya itu adalah ”tujuan” yang hendak dicapai sendiri, yaitu
pikiran itu sendiri dalam kodratnya yang sadar terang tanpa bayang; gurunya
adalah Pikiran Sadar Terang. Demikian pula ia mengerti, Ananda, bahwa ajarannya
itu sebetulnya bukanlah himpunan kata-kata dan nama-nama, tetapi ajarannya
adalah realisasi sendiri (penyelaman sendiri) naluri Sadar-Terang.
Demikianlah, Ananda, perubahan kodrat
daripada siswa, guru, dan ajaran, yang tumbuh tatkala seseorang telah mencapai
pengertian benar, atau telah ”bangun” itu.
Tetapi, Ananda, seperti halnya
seseorang yang baru saja ”bangun” dari tidur dan mimpinya tidak mau segera
”bangkit” dan berjalan meninggalkan tempat tidurnya, tetapi masih saja tetap
tinggal bergolek-golek disitu sembil mengenangkan impian-impiannya yang telah
berlalu, maka seperti demikian itu pulalah halnya dengan seseorang yang baru
saja mencapai pengertian-benar.
Seseorang yang baru saja mencapai
pengertian benar, Ananda, biasanya tidak mau dengan segera ”bangkit” dan
merealisasi-sendiri naluri Sadar-Terang, melainkan bergolek-golek saja dengan
banyak berkata-kata dan berbicara tentang ajaran mengenai pengertian benar. Dan
celakannya, Ananda, meskipun ia sangat fasih berkata-kata dan berbicara tentang
pengertian benar, namu pikirannya tetap melekat kepada kebutuhan-kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan dunia rupa dan nama yang berkodrat perorangan.
Hal ini menunjukkan, bahwa setelah ia
”bangun”, maka ia lalu jatuh ”tertidur” lagi! Ingat baik-baik hal ini, Annada,
supaya engkau tidak jatuh ”tertidur” kembali setelah engkau ”bangun”!
312. Ananda:
Bapa, jikalau seorang siswa sudah
”bangun” lalu ”bangkit”, dan sudah merealisasi sendiri (menyelami-sendiri)
naluri Sadar-Terang, lalu bagaimankah kodrat daripada siswa, guru, dan ajaran
itu?
313. Bapa:
Ananda, sebelum dicapai
pengertian-benar, maka pengertian-pengertian mengenai siswa, guru dan ajaran
adalah pengertian-pengertian dalam kodrat perorangan; artinya: disitu terdapat
siswa perorangan, guru perorangan, dan ajaran kata-kata dan nama-nama.
Dan sesudah dicapai pengertian benar,
maka pengertian-pengertian mengenai siswa, guru, dan ajaran lalu berubah dari
kodrat perorangan kepada kodratnya yang sejati; artinya: disitu tidak terdapat
lagi siswa perorangan, guru perorangan, dan ajaran kata-kata dan nama-nama,
melainkan disitu terdapat Siswa-Sejati (= pikiran berpikir benar), Guru-Sejati
(= pikiran sadar terang), Ajaran-Sejati (= realisasi sendiri naluri Sadar
Terang).
Sesudah dicapai pengertian-benar,
Ananda, maka Siswa-Sejati berubah menyelaraskan-diri dengan Guru-Sejati dengan
cara merealisasi-sendiri naluri Sadar-Terang yang ada pada Guru-Sejati itu.
Inilah yang dimaksud dengan menempuh Jalan Kebangkitan, atau menempuh Jalan
Sadar-Terang itu.
Menempuh Jalan Kebangkitan atau
menempuh Jalan Sadar Terang inilah, Ananda, yang dikatakan sebagai ”berguru”
kepada Guru-Sejati, atau ”berguru” kepada Guru-Jagad itu.
Ananda, tatkala Siswa-Sejati sudah
sampai pada Akhir-Jalan (= Akhirat), artinya Siswa-Sejati telah merealisasi-sendiri
(menyelami-sendiri) naluri Sadar-Terang, maka genap dan sempurnalah tugas-tugas
kesiswaan, keguruan, dan pengajaran itu, dan tidak ada pekerjaan lagi yang
harus diselesaikan.
314. Ananda:
Bapa, apakah yang dimaksudkan dengan
”tidak ada pekerjaan lagi yang harus diselesaikan”, itu? Apakah hal itu
berarti, bahwa Siswa-Sejati setelah merealisasikan-sendiri Naluri Sadar-Terang
itu ia tinggal diam dan menganggur?
BAB III
MENYELAMI-SENDIRI
PENGETAHUAN LUHUR
1. KODRAT PENYELAMAN
DIRI
315. Bapa:
Ananda, tatkala naluri sadar terang
itu sudah diselami sendiri didalam kodratnya yang sejati, maka sampailah
Siswa-sejati pada akhir tujuannya selaku siswa. Ini berarti, bahwa bagi siswa
sejati, tugas pekerjaannya selaku siswa terhadap gurunya telah digenapkan dan
disempurnakan. Ia sekarang bukan lagi berkodrat sebagai Siswa Sejati, karena ia
telah sama dengan Guru Sejati; ia sekarang sudah menjadi Guru Sejati itu
sendiri. Setelah dialami perubahan kodrat dari Siswa Sejati kepada Kodrat Guru
Sejati, Ananda, maka kodrat kesiswaan, keguruan, dan ajaran telah menjadi satu
didalam Pikiran Sadar Terang itu sendiri. Dan pada saat itu, Ananda, maka
terjadilah ”pembalikan” didalam lubuk kesadarannya, dimana ia menginsyafi suatu
kehidupan yang satu dengan semuannya.
Dan ketika terjadi ”pembalikan”
didalam lubuk kesadarannya itu, Ananda, maka ia menghayati suatu kehidupan
bebas dan berbahagia yang tidak bersyaratkan kepentingan-kepentingan dan
kebutuhan-kebutuhan perorangan akan dunia rupa dan nama. Kasih sayang yang tak
terbatas telah meliputi seluruh kehidupannya, sehingga ia tidak lagi
membeda-bedakan rupa dan nama sebagai hal-hal yang baik atau buruk, dan
memperlakukan semua manusia sebagai meperlakukan dirinya sendiri.
Ananda, ketika naluri sadar terang
sudah diselami sendiri didalam kodrat yang sejati, maka Siswa Sejati bukanlah
lalu berdiam diri dan menganggur, melainkan didalam kodratnya yang baru sebagai
Guru Sejati ia bahkan lebih giat mengambil peranan didalam membagi-bagikan
jasanya kepada seluruh umat manusia supaya mereka dapat ikut serta menikmati
pembebasan dan kebahagiaan yang akan melepaskan mereka dari belenggu
penderitaan.
316. Ananda:
Telah dikenali, Bapa, bahwa kodrat
Guru Sejati sebagai Pikiran Sadar Terang bukan perorangan, tetapi bagaimana
bisa jadi ia lalu mengambil kegiatan didalam membagi-bagikan jasanya kepada
umat manusia untuk pembebasan mereka? Agaknya hal ini sulit dimengerti! Sudikah
Bapa menerangkan tentang kodrat daripada Guru Sejati dengan cara yang lebih
jelas lagi?
317. Bapa:
Guru Sejati, Ananda, didalam kodratnya
sebagai Pikiran Sadar Terang, itu adalah pikiran yang menyadari, bahwa Terang
tanpa bayangan (hampa gambaran) itu adalah Kodratnya Sendiri. Dengan menyadari,
bahwa Terang itu adalah Kodratnya sendiri, Ananda, maka didalam Pikiran Sadar
Terang itu sendiri ternyata masih terdapat pembedaan diantara Pikiran dan
bidang Kesadarannya. Meskipun Pikiran Sadar Terang itu sendiri bukan
perorangan, dan tidak dapat diperorangkan, Ananda, namun karena pengetahuannya
tentang pembedaan dan pencirian itu, maka hal ini menunjukkan, bahwa Pikiran
Sadar Terang itu sendiri belumlah merupakan tahapan Kenyataan Esa yang hampa
Zat, hampa pembendaan, hampa sebutan, dan hampa perbuatan. Ini berarti, bahwa
diatas Pikiran Sadar Terang, Ananda, disitu masih terdapat sesuatu yang
terlebih luhur, yaitu Kenyataan Esa yang aku sebutkan sebagai Pikiran Semesta
(Universal Mind) atau Pikiran Menunggal (Unitive Mind).
Ananda, karena pengetahuannya
mengenai pembendaan dan pencirian akan mana yang Kenyataan dan mana yang bukan
Kenyataan, maka Pikiran Sadar Terang dapat dinyatakan sebagai pintu yang
menghubungkan dianatara tata susunan pikiran yang kodratnya rendah, yaitu
pikiran perasaan (sense mind) atau pikiran fana (mortal mind), dengan Pikiran
Semesta yang kodratnya suci murni dan hampa gambaran (imagelessness). Dan
didalam tugasnya (fungsinya) sebagai pintu penghubung yang menghubungkan
diantara pikiran fana dan Pikiran Semesta, Ananda, maka Pikiran Sadar Terang
disatu fihak mengambil peranan duniawi didalam membagi-bagikan jasanya berupa
petunjuk dan ajaran kepada umat manusia supaya mereka dapat mencapai
pembebasan, dan dilain fihak Pikiran Sadar Terang melekat dan bergantung kepada
Pikiran Semesta didalam kodrat inti sarinya yang suci murni dan hampa gambaran
itu.
Melalui Pikiran Sadar Terang, Ananda,
maka Pikiran Semesta yang hampa pencurahan (devoid of out flowing) itu lalu
bisa terwujud dan terlaksana. Ini berarti, bahwa jikalau tidak karena Pikiran
Sadar Terang, maka dunia rupa dan nama itu tidak akan ada dan tidak akan
terwujud.
Ananda, Pikiran Sadar Terang itu
dapat diperumpamakan sebagai seorang Dalang bijaksana yang mementaskan suatu
lakon wayang pada layar putih pedalangan lengkap dengan wayang-wayang sebagai
pemain-pemainnya. Sang Dalang ikut serta didalam kehidupan fana daripada
wayang-wayang itu dengan segala kesenangan dan kesusahannya, namun sementara
itu Sang Dalang selalu dapat merenungkan betapa hampa dan sia-sianya kehidupan
wayang-wayang itu, karena ia menyadari dengan terang, bahwa apa yang tampaknya
seolah-olah sebagai perbuatan-perbuatan dan pembicaraan-pembicaraan
wayang-wayang itu tidak lain kecuali hasil kegiatannya sendiri.
318. Ananda:
Bapa, didalam perumpamaan itu Guru
Sejati atau Pikiran Sadar Terang telah diperumpamakan sebagai Sang Dalang
bijaksana yang mementaskan suatu lakon wayang. Dalam hubungan itu, Bapa,
diperumpamakan sebagai apakah Pikiran Semesta dan pikiran berpikir itu?
319. Bapa:
Ananda, Pikiran Semesta dapat
diperumpamakan sebagai seorang Maha Raja yang akan menyelenggarakan suatu
keramaian, dimana penyelenggaraannya diserahkan sepenuhnya kepada Sang Dalang.
Tidak banyak yang dapat aku jelaskan
kepadamu tentang Sang Maha Raja itu, Ananda, sebab Sang Maha Raja adalah
Pikiran Semesta yang kodratnya tiak terucapkan (ineffable). Sang Maha Raja Yang
Maha Tahu itu hanya duduk disinggasana kebesaran dan keangungannya sambil
menetapkan apa yang boleh terjadi dan apa yang bisa terjadi; dan apa yang
ditetapkannya itu tak dapat diperkirakan terlebih dahulu (upredictable).
Adapun Pikiran berpikir, Ananda, yang
diperumpamakan sebagai penonton, itu adalah siswa-siswa bagi Sang Guru atau
Sang Dalang. Dan sebagai layaknya para penonton, disitu terdapat
penonton-penonton yang bodoh dan tidak berpengetahuan, dan ada pula penonton
yang bijaksana dan berpengetahuan. Bagi penonton bodoh, Ananda, ia sama sekali
tidak mengerti, bahwa wayang-wayang yang dimainkan oleh Sang Dalang itu
bukannya kenyataan yang sungguh-sungguh, melainkan hanya sebagai permainan dan
sandiwara belaka. Penonton yang bodoh tidak mengerti sama sekali tugasnya yang
benar sebagai penonton, yang seharusnya menonton semata-mata akan apa yang
dimainkan oleh Sang Dalang.
Ananda, karena ketidak-tahuannya,
maka penonton bodoh sebentar-sebentar tertawa dan menari-nari kegirangan, dan
sebentar-sebentar lagi menangis dalam kesedihan melihat apa yang dikirannya
sebagai perbuatan-perbuatan dan pembicaraan-pembicaraan wayang-wayang yang
mempunyai kodrat sendiri. Ia takut, menyesal, dan susah akan kehilangan
wayang-wayang yang disenanginya, dan takut, menyesal, dan susah pula akan
kehadiran wayang-wayang yang tidak disenanginya. Selama-lamanya ia mengerang
didalam kesengsaraan dan penderitaan, karena tidak mengerti, bahwa lelakon
wayang-wayang itu bukannya sungguh-sungguh, melainkan sandiwara dan permainan
belaka. Penonton yang bodoh inilah, Ananda, merupakan perumpamaan bagi siswa
yang bodoh, yaitu pikiran berpikir keliru yang tidak mempunyai pengertian
benar.
Sebaliknya, bagi penonton yang
berpengetahuan, Ananda, ia mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa apa yang
tampaknya sebagai perbuatan-perbuatan dan pembicaraan-pembicaraan wayang-wayang
itu sebetulnya bukanlah kegiatan daripada pencerminan kegiatan Sang Dalang yang
berkodrat sandiwara dan mainan semata-mata. Oleh karena itu ia tidak pernah
takut, menyesali, dan menyusahkan apa yang terjadi pada lelakon wayang-wayang
itu, dan ia tetap tinggal tenang selaku penonton yang benar, yaitu menonton
semata-mata. Penonton yang bijaksana inilah, Ananda, merupakan perumapamaan
bagi siswa sejati, yatu pikiran berpikir benar yang telah mencapai pengertian
benar.
Jikalau saja, Ananda, engkau dapat
merealisasi dirimu sebagai penonton yang benar, dan menjalankan tugas
pekerjaanmu sebagai penonton semata-mata tanpa merasa tersinggung dan
memberikan reaksi menurut dorongan perasaan perorangan (impulsive reaction)
terhadap dunia rupa dan nama ini, maka engkau akan menjadi penonton yang
sempurna. Dan tatkala engkau sudah mencapai pengertian yang mendalam, dan dapat
melihat, bahwasanya dunia ini sebetulnya tidak lain daripada suatu kelangsungan
semata-mata, maka disitu engkau akan dapat menjadi penonton yang sempurna.
Dan siapakah penonton yang sempurna
itu, Ananda?
Pikiran yang sempurna tidak lain
adalah Pikiran Melihat, yaitu Pikiran Sadar Terang yang dicirikan dengan berbagai
sebutan seperti Guru Sejati atau Dalang Jagad itu!
Tegasnya, Ananda, penonton yang
sempurna hanya dapat dicapai oleh siswa-siswa yang mau berusaha sendiri dengan
sungguh-sungguh untuk menghentikan kesadaran ego nya, dan memasuki kodrat
penyelaman diri didalam Pikiran Melihat atau Pikiran Sadar Terang.
320. Ananda:
Bapa, syarat-syarat apakah yang harus
dipenuhi oleh seorang siswa Pengetahuan Luhur supaya ia dapat dengan segera
memasuki kodrat penyelaman diri?
2. DISIPLIN DAN
PENCAPAIAN PENYELAMAN DIRI
321. Bapa:
Tiga syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang siswa Pengetahuan Luhur, jikalau ia hendak memasuki kodrat penyelaman
diri.
Syarat pertama adalah pengertian
benar. Ia harus mencapai pengertian yang jelas dan tegas, dan yakin tanpa
ragu-ragu lagi akan kebenaran:
Ke-1. Bahwa segala hal yang ada dan
berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan pikiran
yang timbul dari pikiran dan dilihat oleh pikiran itu sendiri;
Ke-2. Bahwa segala hal yang ada dan
berwujud itu pada hakekatnya hampa zat, hampa kelahiran, hampa ego, dan hampa
kodrat sendiri;
Ke-3. Bahwa Kenyataan itu terealisasi
didalam kodrat penyelaman diri, dimana didalam kodrat penyelaman diri itu tidak
ada apa-apa yang hadir, tidak ada apaapa yang pergi, dan juga tidak ada
gagasan-gagasan, gambaran-gambaran, dan cita-cita apa-apa yang dapat
dipersamakan dengan pengalaman pancaindera atau perasaan-perasaan-pikiran.
Syarat kedua adalah berkehidupan
benar (laku utama). Yang dimaksud dengan berkehidupan benar (laku utama) ialah,
bahwa ia harus berikhtiar dan berusaha sungguh-sungguh dengan penuh kesabaran,
ketekunan, dan kewaspadaan supaya selalu dapat berpikir benar, berbicara benar,
dan berbuat benar, yaitu berpikit, berbicara, dan berbuat yang selaras dengan
pengertian benar yang telah dicapainya.
Ini artinya ialah:
Ke-1. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan
berpikir dengan cara-cara benar sebagaimana seorang Dalang bijaksana yang
berpikir tentang wayang-wayangnya, dan yang memikirkan kepentingan para
penontonnya supaya mereka memperoleh bagian kebahagiaan didalam terang;
Ke-2. Bahwa ia harus memupuk
kebiasaan berbicara dengan cara-cara yang benar sebagaimana seorang Dalang
bijaksana yang berbicara dan mendengarkan suaranya sendiri yang tercurah
melalui wayang-wayangnya didalam berbagai nada dan irama, yang berusaha untuk
memberikan penerangan dan petunjuk kepada para penontonnya supaya mereka
memperoleh pengertian benar yang akan membawanya kearah menempuh jalan terang
dan kebahagiaan;
Ke-3. Bahwa ia harus memupuk
kebiasaan melakukan perbuatan dengan cara-cara yang benar sebagaimana seorang
Dalang bijaksana yang melakukan perbuatan melalui wayang-wayangnya, dan melihat
gerak-gerak berbagai wayang-wayng itu sebagai suatu kelangsungan yang
mencerminkan kegiatan Sang Dalang itu sendiri.
Adapun syarat ketiga, Ananda, adalah
perenungan memusat (concentrative meditation). Yang dimaksud dengan perenungan
memusat itu ialah:
Ke-1. Bahwa ia harus memupuk
kebiasaan untuk memusatkan pikirannya ”kedalam” untuk dapat ”menemukan” hakekat
Kenyataan dirinya sendiri yang bersemayam didalam lubuk kesadaran yang paling
dalam dan terahasia, sebagai ganti daripada kebiasaan melihat ”keluar” kepada
dunia rupa dan nama dengan pikiran menyebar kemana-mana dengan tak menentu;
Ke-2. Bahwa ia harus memupuk
kebiasaan untuk menghampakan kepribadiannya sendiri, dan secara naluriah
memusatkan kepercayaannya yang penuh dan tak bersyarat hanya kepada kodrat
Sadar-Terang yang hampa pembendaan, hampa sebutan, dan hampa gambaran
(imagelessness);
Ke-3. Bahwa ia harus memupuk
kebiasaan untuk secara berkala pada waktu-waktu tertentu menyisih ketempat yang
sunyi dan tenang, dan membiarkan pikirannya menyendiri untuk melihat dan
bercermin kepada kodrat inti sarinya sendiri yang terluhur.
Demikian itulah tiga syarat yang harus
dipenuhi oleh siswa Pengetahuan Luhur (Siswa Sejati), jikalau ia hendak
memasuki kodrat penyelaman diri. Bagaimana, Ananda, sudah cukup jelas?
322. Ananda:
Sudah, sudah cukup jelas, Bapa!
Jadi singkatnya, untuk dapat memasuki
kodrat penyelaman diri, maka seseorang siswa pengetahuan luhur harus memenuhi
tiga syarat, yakni: pengertian benar, disiplin kehidupan benar (laku utama),
dan disiplin perenungan memusat (concentrative meditatation).
Dan sesudah tiga syarat tersebut
dipenuhi, Bapa, maka bagaimanakah kiranya keadaan seorang siswa yang telah
mencapai keadaan penyelaman diri itu? Sudikah Bapa menerangkannya?
323. Bapa:
Ananda, tatkala hal-hal yang
menyangkut kesiswaan, keguruan, dan filsafat (ajaran) telah dimengerti dengan
sungguh-sungguh dan telah diselami sendiri didalam kodratnya yang sejati, maka
disitu terjadilah ”pembalikan” didalam lubuk kesadaran seseorang siswa yang
tersembunyi sangat dalam dan terahasia.
”Pembalikan” itu terjadi mendadak
sontak dan seketika itu juga seperti halnya seseorang yang dengan mendadak
sontak dan seketika itu juga dapat melihat dengan terang bayangan mukanya
sendiri didalam air yang sangat jernih dan tenang. Bahwa apa yang selama ini
ditanggapinya sebagai kepribadian-kepribadian ”aku”, ”engkau”, dan ”dia”, itu
semua tidak lain adalah dunia maya, dunia impian, dan merupakan perwujudan dan
bayangannya sendiri.
Ini adalah tahap pertama didalam
keadaan penyelaman diri. Didalam tahap ini ia telah mencapai pembuktian sendiri
dan kesaksian langsung akan kesamaan inti sari segala hal. Disitu ia merasakan
suatu suasana kelegaan dan kebahagiaan bathiniah yang belum pernah ditemuinya
didalam dunia pengalaman penginderaan.
Dalam keadaan seperti itu sedikit
banyaknya ia masih menyadari akan diri perorangannya yang sedang mengalami
kebahagian itu, dan pada saat itu perasaan belas kasihan terhadap sesama
manusia telah timbul, karena ia mengetahui, bahwa mereka oleh sebab ketidaktahuan
dan kekeliruannya belum dapat menikmati pembebasan seperti yang dialaminya
sendiri.
Sementara itu, Ananda, kasih sayang
yang tak terbalas dan tak bersyarat sebagai ciri khas didalam keadaan
penyelaman diri lalu muncul didalam bathinnya, yang kemudian diikuti oleh suatu
tekad yang bulat, yang merupakan ikrar dan janji didalam kodratnya sendiri
untuk memashurkan dan menyampaikan kebenaran pengetahuan luhur kepada umat
manusia, supaya mereka dapat memasuki jalan pembebasan yang akan membawanya
kearah pelepasan penderitaan mereka.
324. Ananda:
Bapa, apakah keadaan “pembalikan”
kesadaran itu terjadi pada saat-saat dimana seseorang berada didalam keadaan
perenungan memusat (concentrative meditation), ataukah terjadi pada saat-saat
didalam seseorang berada dalam keadaan kegiatan kehidupan sehari-hari?
325. Bapa:
Ananda, “pembalikan” itu terjadi pada
saat pikiran berada didalam keadaan terpusat pada satu titik sasaran tertentu,
dimana pikiran telah berhenti dari tugas (fungsi) berpikir. Ini artinya ialah,
bahwa pikiran telah berhenti untuk sementara dari kemelekatannya kepada
pembedaan-pembedaan khayal yang menimbulkan berbagai gagasan dan
gambaran-gambaran.
Dengan kata lain, Ananda,
“pembalikan” itu terjadi pada saat seseorang siswa berada dalam keadaan
perenungan memusat. Dan didalam keadaan perenungan memusat itu, Ananda, pikiran
untuk sementara melepaskan pemikiran-pemikiran tentang dunia lahiriah, sehingga
keadaan menjadi tenang, dan tidak bergejolak oleh sebab keinginan-keinginan
akan kepentingan-kepentingan perorangan.
326. Ananda:
Kalau begitu, Bapa, apakah penyelaman
diri yang sempurna itu dapat dipercepat pencapaiannya dengan menumpas dan
menghentikan sama sekali fungsi berpikir?
327. Bapa:
Ananda, sudah aku katakan, bahwa
”pembalikan” pada tahap pertama itu terjadi pada saat seorang siswa berada
didalam keadaan perenungan yang terpusat. Dan tatkala siswa tersebut
menghentikan kegiatannya dari perenungan yang dipusatkan itu, maka tentunya ia
akan kembali dalam keadaan berpikir lagi seperti halnya apa yang dilakukan oleh
tata susunan pikiran.
Didalam hubungannya dengan pencapaian
penyelaman diri yang sempurna, Ananda, boleh jadi seseorang siswa akan
berpendapat, bahwa penyelaman diri yang sempurna itu dapat dipercepat
pencapaiannya dengan menumpas sama sekali tata susunan pikiran yang selalu
mengadakan ”kontak” dengan dunia luar (external world). Sebab, mungkin siswa
itu yakin, bahwa selama tata susunan pikiran masih mengadakan ”kontak” dengan
dunia luar, maka dengan disadari atau tidak disadari, tata susunan pikiran itu
masih akan selalu menimbulkan fungsi berpikir, dimana disitu akan timbul
berbagai gagasan dan gambaran-gambaran yang akan menghalang-halangi tercapainya
penyelaman yang sempurna.
Tetapi, Ananda, pendapat seperti itu
adalah keliru! Sebab, penyelaman diri yang sempurna itu bukanlah harus dicapai
melalui penghentian fungsi berpikir, karena penghentian fungsi berpikir itu
berarti diam dan menganggur.
Ananda, untuk mencapai penyelaman
diri yang sempurna, itu hanya tercapai dengan menghentikan kemelekatan kepada
kebiasaan menanggapi pembedaan-pembedaan khayal, dan bukannya dengan
menghentikan sama sekali fungsi berpikir. Didalam kodrat penyelaman diri,
Ananda, fungsi berpikir itu masih tetap ada dan berlaku, tetapi bukannya fungsi
berpikir yang melandaskan pembedaan-pembedaan, melainkan fungsi bepikir yang
terpusat kepada satu titik sasaran yang tetap, yaitu terpusat kepada Kenyataan
Esa yang hampa pembedaan. Tatkala seseorang siswa sedang didalam melakukan
disiplin perenungan memusat dengan memutuskan ”kontak” dengan dunia luar, dan
pikirannya telah benar-benar terpusat kepada satu titik sasaran, maka disitu
fungsi berpikir yang menanggapi dunia luar memang terhenti untuk sementara. Dan
pada saat itu, Ananda, seseorang siswa mengalami suatu penghayatan didalam
kesadarannya tentang berhentinya kemelekatan dan pembedaan-pembedaan.
Tetapi, Ananda, berhentinya fungsi
berpikir yang menimbulkan pengalaman penghayatan tentang berhentinya
kemelekatan dan pembedaan-pembedaan itu bukanlah merupakan tujuan didalam
mencapai penyelamatan diri yang sempurna. Meskipun seseorang siswa telah pernah
mengalami penghayatan tentang berhentinya kemelekatan dan pembedaan-pembedaan
melalui penghentian fungsi berpikir, namun hal itu belumlah berarti, bahwa
siswa tersebut telah bebas sama sekali dari kemelekatan dan
pembedaan-pembedaan. Kebiasaan lama didalam mengingat dan menanggapi berbagai
macam gagasan, gambaran-gambaran, kata-kata, perbuatan-perbuatan, dan
keinginan-keinginan, itu semua masih merupakan benih-benih kemelekatan yang
belum di bersihkan sama sekali.
Dan pembersihannya dapat dilakukan
dengan perlahan-lahan dan berangsur-angsur melalui perlaksanaan disiplin
kehidupan benar (laku utama) dengan sabar, tekun, terus-menerus, dan penuh
kewaspadaan. Itulah sebabnya, mengapa lalu dikatakan, bahwa disiplin perenungan
memusat dan disiplin kehidupan benar merupakan dua macam disiplin yang tak
dapat dipisahkan satu sama lain, dan saling menunjang.
328. Ananda:
Bapa, mengertilah aku sekarang, bahwa
untuk dapat memasuki kodrat penyelaman diri yang sempurna, itu bukanlah harus
menghentikan Fungsi berpikir, melainkan harus direalisasi dengan menghentikan
kemelekan kepada kebiasaan melakukan pembedaan-pembedaan khayal.
Sedangkan untuk menghentikan
kemelekatan kepada kebiasaan melakukan pembedaan-pembedaan khayal itu
direalisasi dengan melalui dua macam disiplin yang berlandaskan pengertian
benar, yaitu disiplin kehidupan benar dan disiplin perenungan memusat
(concentrative meditation).
Tadi telah dikatakan, Bapa, bahwa
tatkala seseorang siswa melakukan disiplin perenungan memusat dengan memutuskan
”kontak” dengan dunia luar, maka ia akan memperoleh suatu pengalaman
penghayatan didalam kesadarannya tentang berhentinya kemelekatan dan
pembedaan-pembedaan. Lalu apakah gunanya pengalaman penghayatan itu, Bapa,
jikalau harus dikaitkan dengan pencapaian penyelaman diri yang sempurna?
329. Bapa:
Ananda, didalam hubungannya dengan
pencapaian penyelaman diri yang sempurna, seperti talah aku katakan tadi,
melakukan disiplin perenungan memusat dengan memutuskan ”kontak” dengan dunia
luar saja tidaklah cukup, sebab didalam pikiran masih terdapat benih-benih
kemelekatan yang belum dibersihkan secara tuntas. Untuk membersihkannya, maka
disiplin perenungan memusat itu harus ditunjang oleh disiplin kehidupan benar.
Didalam hal seseorang siswa mentaati
pelaksanaan disiplin perenungan memusat, dan ia telah sering mengalami
penghayatan tentang berhentinya kemelekatan dan pembedaan-pembedaan, maka
pengalaman itu akan meniggalkan kesan didalam ingatan dan kesadarannya, didalam
kesan kesadaran-nya itu akan dibawanya didalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian,
maka pelaksanaan disiplin kehidupan benar akan menjadi lebih mantap, karena
disangga oleh kesan kesadaran yang sewaktu-waktu dapat dimunculkan kembali
dengan mudah.
Ananda, dengan teraturnya pelaksanaan
disiplin perenungan memusat, maka kesan kesadaran dari seseorang siswa akan
menjadi lebih mantap dan tidak berubah-ubah. Sambil menjalankan tugas-tugas
kehidupan duniawi sehari-hari seperti biasa, siswa tersebut memunculkan kesan
kesadarannya yang sudah mantap itu sebagai pusat sasaran perenungannya. Didalam
tampaknya, memang siswa tersebut ikut serta didalam kegiatan kehidupan duniawi
seperti biasa, namun sebetulnya siswa tersebut sudah tidak lagi melekat kepada
dunia rupa dan nama itu. Inilah yang dikatakan oleh para bijaksana zaman dahulu
sebagai ”melakukan kegiatan, tetapi tidak berbuat apa-apa” itu.
Tetapi, Ananda, dengan dicapainya
kesan kesadaran yang sudah mantap itu, belumlah berarti bahwa siswa tersebut
sudah dapat mencapai penyelaman diri yang sempurna dan penuh. Mengapa? Sebabnya
adalah, bahwa didalam pikirannya masih terdapat ”kotoran” berupa kesan; dan
kesan itu harus diusahakannya supaya lenyap sama sekali, sehingga pikiran dapat
kembali didalam kodrat inti sarinya yang semula, yaitu suci dan bersih dari
segala jenis kebiasaaan tanggapan.
330. Ananda:
Bapa, apakah yang harus diusahakan
oleh seorang siswa yang sudah mencapai kesan kesadaran yang sudah mantap, supaya
ia dapat memasuki kodrat penyelaman diri yang sempurna dan penuh?
331. Bapa:
Ananda, bagi seseorang siswa
Pengetahuan Luhur yang sudah dapat mencapai kesan kesadaran yang mantap dan
tidak berubah-rubah maka ia masih tetap melakukan disiplin kehidupan benar dan
disiplin perenungan memusat. Tetapi kodrat perenungannya bukan lagi dengan
”duduk diam”, melakukan dengan mengambil kegiatan ”kerja” sehari-hari, sambil
memusatkan pikirannya kepada kesan kesadarannya yang sudah dicapai sebagai
titik sasaran pemusatannya. Dengan cara demikian, Ananda, maka pada sesuatu
hari kesan kesadarannya akan ”berbalik” menjadi kesadaran terang penuh, dimana
pada saat seperti itu seseorang siswa berpengetahuan lhur lalu menerima kodrat
Kecerdasan Bathin Luhur (Transcendental Intellegence) daripada Pikiran
Menunggal (Pikiran Semesta), dan disitulah penyelaman diri yang sempurna dan penuh
telah tercapai!
332. Ananda:
Bapa, jikalau ada sesuatu pencapaian,
tentunya disitu harus ada buah hasil yang dapat dipetik. Nah, didalam hal
seorang siswa telah mencapai penyelaman diri yang sempurna dan penuh, lalu buah
hasil apakah yang dapat di petik daripadanya?
3. BUAH HASIL
PENYELAMAN DIRI
333. Bapa:
Ananda, bagi seorang siswa
Pengetahuan Luhur yang telah mencapai penyelaman diri yang sempurna dan penuh,
maka seluruh dunia rupa dan nama ini (termasuk personalitasnya sendiri) tidak
lagi terlihat sebagai banyaknya dan macamnya kenyataan-kenyataan yang terlahir
dengan ke-aku-an (selfhood) dan kodrat sendiri, melainkan seluruh dunia rupa
dan nama ini hanyalah terlihat sebagai impiannya sendiri yang telah berlalu.
Dan dengan menginsyafi, bahwa dunia
rupa dan nama ini adalah impiannya sendiri yang telah berlalu, maka ia tidak
lagi berusaha secara perorangan untuk mencari penyesuaian diri dengan gerak
kehidupan duniawi ini; dan ia juga tidak memandang dunia rupa dan nama ini
sebagai banyaknya dan macamnya hal yang harus diberi nilai dan penilaian baik
ataupun buruk, enak ataupun menyakitkan.
Didalam keadaan penyelaman diri yang
sempurna dan penuh, Ananda, maka seorang siswa Pengetahuan Luhur ada didalam
keadaan pembebasan penuh tak bersyarat.
Ia dengan sangat mudah merubah
dirinya dari sesuatu perwujudan kepada perwujudan yang lain seperti mudahnya
mengenal dan sesuatu adegan impian yang satu kepada adegan impian yang lain.
Dan lagi, ia dapat memperbanyak perwujudannya ditempat-tempat yang berbeda pada
saat yang sama, dan merubah tubuhnya yang kasar menjadi tubuh yang halus untuk
membagi-bagikan jasanya kepada semua makhluk didalam menggenapkan pekerjaan mereka
yang tidak dapat di mengertinya.
Ananda, didalam keadaan penyelaman
diri yang sempurna dan penuh seseorang siswa Pengetahuan Luhur dapat dengan
mudah menembus seluruh alam, baik alam benda, alam pikiran, maupun alam
menunggal. Sementara kesadarannya berada dialam yang terluhur, sedikitpun ia
tidak pernah terlena dan tidak pernah kehilangan keinsyafan dan keseimbangannya
dialam yang lebih rendah dengan segala kodratnya. Artinya, didalam
perwujudannya sebagai manusia bertubuh kasar ia mengambil kegiatan duniawi
biasa dengan segala macam perasaannya, namun kesadaran pikirannya dapat pergi
jauh tak terbatas dan menembusi berbagai macam perwujudan tanpa penghalang
apapun, dan dapat pula menembusi kesadaran tata susunan pikiran siswa-siswa
biasa, dan bahkan, dapat menembusi kesadaran ilahiah daripada Pikiran Semesta.
Pendek kata, Ananda, mujijat dan kebesaran
telah timbul pada seorang anak manusia! Tetapi bukannya ”mujijat” dan
”keheranan-heranan” yang dipertontonkan secara tubuh dihadapan perasan pikiran
manusia, Ananda, merupakan mujijat daripada pengenalan.
Seorang anak manusia telah dapat
mengenal ”sesuatu” yang luar biasa, yang tidak dapat, bahkan tidak mungkin
dapat dikenal oleh seseorang dengan cara-cara manusiawi biasa. Hal-hal yang
mustahil dan tak mungkin bisa terjadi bagi pertimbangan pikiran yang berakal
budi (intellectual reasoning mind) menjadi serba mungkin dan serba bisa terjadi
bagi siswa Pengetahuan Luhur yang berada didalam keadaan penyelaman diri yang
sempurna dan penuh.
Memang benar, Ananda, mungkin saja
seorang anak manusia yang berada didalam keadaan penyelaman diri yang sempurna
kadang-kadang menampakkan mujijat dan keheran-heranan secara tubuh, namun hal
seperti itu sangat jarang terjadi. Mengapa?
Karena di dalam kodratnya yang luhur,
siswa Berpengetahuan Luhur di dalam membagi-bagikan bantuan dan jasanya kepada
semua makhluk sangat menyukai kerahasiaan ilahiah, dan tidak membutuhkan
kesaksian-kesaksian inderawi cara manusia, dan juga tidak membutuhkan ketenaran
perorangan yang akan menjadi penyebab kesesatan dan keaniayaan siswa-siswa
biasa.
Ananda, boleh jadi engkau menjumpai
seseorang yang suka memamerkan dan mendemonstrasikan perbuatan-perbuatan
mujijat. Hal seperti itu, Ananda, barulah membuktikan, bahwa perbuatan mujijat
itu memang ada, tetapi hal seperti itu belumlah merupakan suatu bukti, bahwa
orang yang melakukan perbuatan mujijat itu sudah benar-benar dapat bernapas
didalam Kebenaran dan Kenyataan Esa yang kodratnya Sadar Terang Penuh.
334. Ananda:
Bapa, tadi telah dikatakan, bahwa
setelah penyelaman diri yang sempurna dan penuh tercapai, maka seorang siswa
Pengetahuan Luhur dapat memetik buah hasil yang timbul daripadanya, seperti
misalnya: perubahan tubuh kasar kepada tubuh halus, perubahan dari perwujudan
yang satu kepada perwujudan yang lain, memperbanyak perwujudan ditempat yang
berbeda pada saat yang sama, dan menembusi kesadaran diseluruh alam.
Lalu bagaimana halnya, Bapa, apakah
tidak seharusnya buah hasil yang dapat dipetik dari penyelaman diri yang
sempurna itu dinikmati?
335. Bapa:
Ananda, perbuatan-perbuatan mujijat
dan keheranan-heranan cara tubuh itu adalah perbuatan-perbuatan besar, tetapi
ada yang terlebih besar daripada itu, Ananda!
Menyelami sendiri dan mengenali
langsung kodrat Sadar Terang Penuh didalam Pikiran Menunggal itulah yang
terlebih besar daripada perbuatan-perbuatan mujijat itu. Dan itulah sebenar-benarnya
mujijat yaitu mujijat daripada penyelaman diri dan pengenalan!
Bagi siswa Pengetahuan Luhur, Ananda,
perbuatan-perbuatan mujijat itu bukanlah tujuan, melainkan sekedar sebagai
”hasil sampingan” yang timbul dengan serta-merta oleh sebab kodrat penyelaman
diri yang sempurna dan penuh. Hal ini dapat diperumpamakan sebagai seseorang
yang membuat minyak goreng dari santan kelapa yang direbus; dari santan kelapa
yang direbus keluarlah minyak goreng yang jernih dan murni, dan ampasnya santan
merupakan ”hasil sampingan” yang dapat dikonsumsi sebagai makanan. Oleh karena
itu, Ananda, kiranya engkau tidak perlu mencita-citakan suatu perbuatan
mujijat, sebab mujijat yang sebenarnya itu hanyalah timbul dengan serta merta
dari dalam penyelaman diri yang sempurna dan penuh. Cita-cita akan memperoleh
dan melakukan perbuatan mujijat, Ananda, itu hanya akan merupakan salib
penghalang yang akan menghalang-halangi Jalanmu menuju kepada kodrat Sadar
Terang Penuh.
336. Ananda:
Tadi telah dikatakan, Bapa, bahwa didalam
penyelaman diri, seorang siswa Pengetahuan Luhur dapat mengalami perubahan
tubuh, dari tubuhnya yang kasar kepada tubuh halus dengan bebas tak bersyarat.
Sudikah Bapa menerangkan tentang kodrat daripada tubuh halus itu?
337. Bapa:
Ananda, perubahan tubuh adalah
merupakan kodrat yang sejati daripada penyelaman diri. Artinya, didalam
penyelaman diri terjadilah perubahan dari tubuh yang kasar kepada tubuh yang
halus. Tubuh halus itu, Ananda, dapat juga disebutkan sebagai kepribadian
bathin. Dan kepribadian bathin (tubuh halus) itu dapat digolong-golongkan
kedalam tiga macam tingkatan, yakni: Kepribadian Bathin tingkat pertama,
Kepribadian Bathin tingkat kedua, dan kepribadian Bathin tingkat ketiga.
Kepribadian Bathin tingkat pertama,
Ananda, itu timbul ketika seseorang siswa Pengetahuan Luhur berada didalam
keadaan terpusat pada satu titik sasaran perenungan, dimana pikirannya
cenderung untuk menjadi tenang dan tidak bergoyang-goyang. Pada saat seperti
itu, Ananda, ia merasakan suatu suasana yang sangat tenteram, melegakan, dan
membahagiakan, bagaikan seseorang yang baru saja meninggalkan suasana kota yang
panas, ramai, dan hiruk pikuk, kemudian memasuki hutan yang teduh, sunyi, dan
tenang, dengan udaranya yang sejuk menyegarkan. Perasaan tiada bertubuh kasar
timbul, tetapi ia masih menyadari kepribadian perorangannya yang berhubungan
dengan perasaan-perasaan duniawi.
Suasana didalam Kepribadian Bathin
tingkat yang pertama ini, Ananda, merupakan suatu suasana bathiniah yang sangat
mempersona dan menggiurkan kenikmatannya, sebab didunia luar tidak pernah ada
kenikmatan yang sama dengan itu.
338. Ananda:
Lalu apakah yang harus diperbuat
selanjutnya oleh seorang siswa Pengetahuan Luhur yang sudah mencapai
kepribadian bathin tingkat yang pertama itu, Bapa?
339. Bapa:
Ananda, suasana kenikmatan didalam
kepribadian bathin tingkat yang pertama ini, Ananda, mengandung segi yang
membahayakan juga bagi siswa-siswa yang kurang kokoh pengertian benarnya.
Bagi siswa yang kurang kokoh
pengertian benarnya, ia mengira, bahwa kenikmatan yang diperolehnya didalam
kepribadian bathin tingkat yang pertama ini adalah kenikmatan yang paling
puncak, dan oleh karena itu ia lalu sangat asyik disitu, sambil
bercumbu-cumbuan dengan nikmatnya perenungan memusat. Hal seperti ini dapat
diperumpamakan sebagai seseorang yang menempuh suatu perjalanan ke sesuatu
kota, dan ditengah perjalanan, karena terlalu payah berjalan lalu masuk kedalam
kedai minuman, dan beristirahat disitu. Karena nikmatnya suasana didalam kedai
minuman itu, dan mengingat akan susah payahnya perjalanan yang baru saja
ditempuhnya itu, maka ia lalu ”mogok” tidak mau meneruskan perjalanannya, dan
asyik beristirahat didalam kedai minuman itu.
Keasyikan dengan kenikmatan didalam
kepribadian bathin tingkat yang pertama ini, dan ”mogok” tidak mau meneruskan
perjalanan itu, biasanya disenangi oleh siswa-siswa yang membenci tubuh
kasarnya, dan memandang tubuh kasarnya sebagai sesosok kerangka busuk yang
jahat yang menimbulkan kesengsaraan. Oleh karena pengertiannya yang keliru itu,
maka ia lalu menyenangi hidup tanpa tubuh dan tanpa bentuk, dan dikirannya
kepribadian bathin tingkat pertama ini sebagai ”sorga” tempat tujuannya yang
terakhir.
Ananda, bagi siswa Pengetahuan Luhur
yang telah kokoh pengertian benarnya, ia tidak harus beristirahat terus menerus
di alam kepribadian bathin tingkat yang pertama itu, sebab hal seperti itu
berarti berhenti, diam, dan menganggur, dan tidak mempunyai jasa apa-apa kepada
dunia umat manusia ini. Dengan berhenti dialam Kepribadian bathin tingkat yang
pertama itu berarti memikirkan kepentingan diri sendiri, mencari enaknya
sendiri, dan masuk kedalam ”sorga”-nya sendiri, dengan tidak mau tahu akan
kesengsaraan dan penderitaan umat manusia yang masih memerlukan bantuan akan
jasa-jasanya.
Tidak, Ananda, tidak! Siswa
Pengetahuan Luhur tidak harus berhenti didalam kepribadian bathin tingkat yang
pertama! Ia harus berjalan terus, sampai tercapai tujuan akhir!
340. Ananda:
Bapa, dalam hal yang bagaimanakah
seseorang siswa Pengetahuan Luhur memasuki kepribadian bathin tingkat yang
kedua, dan bagaiman pula kodratnya?
341. Bapa:
Ananda, setelah seorang siswa
Pengetahuan Luhur merealisasi kepribadian bathin tingkat yang pertama, dan ia
terus berusaha untuk memusatkan tingkat yang pertama, dan ia terus berusaha
untuk memusatkan pikirannya lebih dalam sedemikian rupa, sehingga pikirannya
menjadi diam dan tidak bergerak sama sekali, maka disitu muncullah Kepribadian
Bathin tingkat kedua.
Pada saat seperti itu, Ananda,
pikirannya tidak lagi melekat kepada keadaan dunia benda, dan ia mulai insyaf
dan sadar terang, karena pembuktian dan kesaksiaannya sendiri, bahwa segala hal
itu mempunyai kodrat inti sari yang satu dan sama, dan merupakan perwujudannya
sendiri. Inilah keadaan Kebangkitan, bagaikan seorang yang telah bangun dan
bangkit dari tidurnya dengan segala impiannya yang berkodrat khayal.
Didalam Kepribadian Bathin tingkat
yang kedua ini, Ananda, ia mulai mendegar suara sunyi daripada bisikan kalbu,
dan mulai menerima Kecerdasan Bathin Luhur yang menjadi milik daripada Pikiran
Menunggal. Ia menjadi sadar terang, dan menginsyafi dengan sepenuhnya, bahwa
dunia keadaan itu ”ada” dan berwujud karena kegiatannya sendiri, dan melalui
kecerdasan Bathin Luhur ia tahu, bahwa ia adalah utusan daripada Pikiran
Menunggal untuk mewujudkan pencurahan daripada hal-hal yang hampa pembedaan dan
tak terucap daripada Pikiran Manunggal, sehingga menjadi terwujud dan
terlaksana.
Ananda, kepribadian Bathin tingkat
yang kedua adalah merupakan tubuh, dan kecerdasan Bathin Luhur daripada Pikiran
Menunggal merupakan darah daripada Sang Suci, Sang Guru Jagad yang kau
nanti-nantikan kedatangannya. Jangan salah paham, Ananda, Sang Suci atau Sang
Guru Jagad itu bukan datang kepadamu sebagai perorangan, dan bukannya harus di
tunggu kedatangannya sebagai perorangan! Sang Guru Jagad itu datang, jikalau
engkau sendiri mau berusaha untuk merealisasi sendiri kodratnya dengan
penyerahan diri mutlak dan kepercayaan penuh kepadanya, yaitu makan tubuhnya
dan minum darahnya. Artinya, Sang Guru Jagad itu akan identik dengan engkau
sendiri, jikalau engkau sendiri telah merealisasi sendiri kepribadian bathin
tingkat yang kedua, dan engkau sendiri telah menerima Kecerdasan Bathin Luhur
daripada Pikiran Semesta.
342. Ananda:
Lalu, bagaimankah halnya dengan
kepribadian bathin tingkat yang ketiga itu, Bapa?
343 Bapa:
Kepribadian Bathin tingkat yang
ketiga, Ananda, itu adalah keadaan penyelaman diri yang sempurna dan penuh,
yaitu sunyi senyap dan hampa gambaran (imagelessness) yang tak terucapkan.
Ketika segala sesuatu yang menyangkut kesiswaan, keguruan, dan filsafat
(ajaran) telah di mengerti dengan sempurna, dan telah diselami sendiri didalam
kodrat inti sarinya yang murni, maka muncullah kepribadian bathin tingkat yang
ketiga dengan kecerdasan bathin luhur yang berada didalam pangkuan Pikiran
Semesta atau Pikiran Menunggal. Inilah yang diterjemahkan oleh para bijaksana
zaman dahulu kedalam berbagai bahasa kata-kata, seperti misalnya: Kenyataan
Terluhur, Inti Sari Pikiran, Kebenaran yang tak Terucap, Pembebasan Mutlak,
intisari pengetahuan luhur, dan sebagainya.
344. Ananda:
Bapa, kiranya sudah tidak ada lagi
yang harus aku tanyakan kepada Bapa, karena hal-hal yang pokok dan hakiki telah
Bapa terangkan secara garis besar kepadaku dengan cukup jelas. Apakah kiranya
masih ada hal-hal lain yang hendak Bapa pesankan kepadaku, sebelum aku
mengundurkan diri dari hadapan Bapa?
345. Bapa:
Ananda, semua apa yang sudah aku
sampaikan kepadamu itu adalah bagian karangan bunga yang aku pertunjukan
kepadamu. Warna-warni yang aku peroleh dari dalam yang aku tempuh dengan susah
payah, dan dengan tebusan-tebusan darah, air mata, keringat, dan
corengan-corengan kotoran debu.
Oleh karen itu, Ananda, biarkanlah
karangan bungaku tetap seperti itu, jangan kau lepas-lepas, jangan kau
rubah-rubah, dan jangan pula kau rusak. Pandang saja dia, jikalau engkau hendak
melihat keindahannya, sebab, itu adalah karangan bunga hasil pekerjaanku.
Biarkanlah hasil pekerjaan orang, sebab orang yang bekerja akan memperoleh upah
sebagai haknya. Dan biarkalah pula orang yang percaya, karena kepercayaannya
itu bukannya diperoleh sebagai hak, melainkan diperolehnya sebagai karunia dari
Dia yang ada diatasnya. Ananda, fajar sudah akan menyingsing! Cepat-cepat
engkau kembali ke-kemahmu, dan mulailah engkau bekerja didalam Nama Sang Guru
Jagad untuk kepentingan keselamatan dan kebahagiaan dunia umat manusia!
Demikian itulah yang kudengar sendiri
tentang apa yang dipercakapkan oleh ”Bapa” dan ”Ananda” mengenai Pengetahuan
Luhur, yaitu Kebenaran dan Kenyataan yang tidak dapat dijelaskan oleh
kecerdasan pikiran berpikir dan para pujangga.
Semoga yang mempunyai mata dapat
melihat, dan yang mempunyai telinga dapat mendengar.!
==========
S E L E S A I
==========